Wednesday, February 16, 2011

Sejarah Perang Dunia I

Perang Dunia I (juga dinamakan Perang Dunia Pertama, dan nama dalam bahasa Inggris lainnya: Great War, War of the Nations, dan "War to End All Wars" (Perang untuk Mengakhiri Semua Perang) adalah sebuah konflik dunia yang berlangsung dari 1914 hingga 1918.Perang ini dimulai setelah Pangeran Ferdinand dari Austria dibunuh anggota kelompok teroris Serbia, Gavrilo Princip di Sarajevo.

Tidak pernah terjadi sebelumnya konflik sebesar ini, baik dari jumlah tentara yang dikerahkan dan dilibatkan, maupun jumlah korbannya. Senjata kimia digunakan untuk pertama kalinya, pemboman massal warga sipil dari udara dilakukan, dan banyak dari pembunuhan massal berskala besar pertama abad ini berlangsung saat perang ini. Empat dinasti, Habsburg, Romanov, Ottoman dan Hohenzollern, yang mempunyai akar kekuasaan hingga zaman Perang Salib, seluruhnya jatuh setelah perang.
Perang Dunia I menjadi saat pecahnya orde dunia lama, menandai berakhirnya monarki absolutisme di Eropa. Ia juga menjadi pemicu Revolusi Rusia, yang akan menginspirasi revolusi lainnya di negara lainnya seperti Tiongkok dan Kuba, dan akan menjadi basis bagi Perang Dingin antara Uni Soviet dan AS. Kekalahan Jerman dalam perang ini dan kegagalan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang masih menggantung yang telah menjadi sebab terjadinya Perang Dunia I akan menjadi dasar kebangkitan Nazi, dan dengan itu pecahnya Perang Dunia II pada 1939. Ia juga menjadi dasar bagi peperangan bentuk baru yang sangat bergantung kepada teknologi, dan akan melibatkan non-militer dalam perang seperti yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Latar belakang
1. Pembunuhan Pangeran Austria Franz Ferdinand oleh kelompok teroris Serbia, Gavrilo Princip di Sarajevo.
2. Persaingan merebut daerah sumber bahan baku, penanaman modal, dan daerah pemasaran.
3. Munculnya persekutuan / Blok persaingan politik antar negara-negara Eropa : Triple Alliance : Jerman, Austria, Italia, Triple Entente : Inggris, Perancis, Uni Soviet
Di Eropa abad ke-19, penjajahan tersebar luas. Kekuatan bangsa Eropa seperti Inggris dan Prancis telah membangun kekuasaan penjajahan di keempat penjuru dunia. Jerman, yang telah membangun kesatuan politiknya lebih lama daripada negara-negara lain, bekerja keras untuk menjadi pelopor dalam perlombaan ini.
Pada awal abad ke-20, hubungan yang didasarkan pada kepentingan telah membagi Eropa menjadi dua kutub yang berlawanan. Inggris, Prancis, dan Rusia berada di satu pihak, dan Jerman beserta Kekaisaran Austria-Hungaria yang diperintah oleh keluarga Hapsburg asal Jerman berada di pihak lainnya.
Ketegangan antara kedua kelompok ini semakin hari semakin meningkat, hingga akhirnya suatu pembunuhan pada tahun 1914 menjadi pemicu perang. Pangeran Franz Ferdinand, pewaris tahta Kekaisaran Austria-Hungaria, dibunuh oleh kaum nasionalis Serbia yang berusaha menekan pengaruh kekaisaran tersebut di daerah Balkan.
Dalam kurun waktu yang amat singkat, hasutan setelah peristiwa ini menyeret seluruh benua Eropa ke dalam kancah peperangan. Pertama, Austria-Hungaria menyatakan perang kepada Serbia. Rusia, sekutu abadi bangsa Serbia kemudian menyatakan perang terhadap Austria-Hungaria.
Lalu satu demi satu, Jerman, Inggris, dan Prancis, memasuki peperangan. Sumbu sudah dinyalakan.
Bahkan sebelum perang dimulai, Dewan Jenderal Jerman telah membuat rencana dan memutuskan untuk menguasai Prancis melalui serangan mendadak. Untuk mencapai tujuan ini, orang-orang Jerman memasuki Belgia dan kemudian melintasi perbatasan memasuki Prancis. Menanggapi dengan cepat, pasukan Prancis menghentikan pasukan Jerman di tepi Sungai Marne dan memulai suatu serangan balik.
Situasi sebuah parit perlindungan.
Parit PD 1
Perang Dunia menjadi terkenal dengan peperangan parit perindungannya, di mana sejumlah besar tentara dibatasi geraknya di parit-parit perlindungan dan hanya bisa bergerak sedikit karena pertahana yang ketat. Ini terjadi khususnya terhadap Front Barat. Lebih dari 9 juta jiwa meninggal di medan perang, dan hampir sebanyak itu juga jumlah warga sipil yang meninggal akibat kekurangan makanan, kelaparan, pembunuhan massal, dan terlibat secara tak sengaja dalam suatu pertempuran.
Perang parit menjadi strategi utama Perang Dunia Pertama. Selama beberapa tahun berikutnya, bisa dikatakan para serdadu hidup dalam parit-parit ini. Kehidupan di sana benar-benar sulit. Para prajurit hidup dalam ancaman terus-menerus dibom, dan mereka tak henti-hentinya menghadapi ketakutan dan ketegangan yang luar biasa. Mayat mereka yang telah tewas terpaksa dibiarkan di tempat-tempat ini, dan para serdadu harus tidur di samping mayat-mayat tersebut. Bila turun hujan, parit-parit itu dibanjiri lumpur.
Parit PD 2
Lebih dari 20 juta serdadu yang bertempur di Perang Dunia I mengalami keadaan yang mengerikan di dalam parit-parit ini, dan sebagian besar meninggal di sana. Dalam beberapa minggu setelah dimulai oleh serangan Jerman pada tahun 1914, garis barat perang ini sebenarnya terpaku di jalan buntu. Para serdadu yang bersembunyi di parit-parit ini terjebak dalam jarak yang hanya beberapa ratus meter jauhnya satu sama lain. Setiap serangan yang dilancarkan sebagai upaya mengakhiri kebuntuan ini malah menelan korban jiwa yang lebih banyak.

Strategi Jerman
Pasukan Jerman
Di awal tahun 1916, Jerman mengembangkan rencana baru untuk mendobrak garis barat. Rencana mereka adalah secara mendadak menyerang kota Verdun, yang dianggap sebagai kebanggaan orang Prancis. Tujuan penyerangan ini bukanlah memenangkan perang, melainkan menimbulkan kerugian yang besar di pihak Tentara Prancis sehingga melemahkan perlawanan mereka. Kepala staf Jerman Falkenhayn memperkirakan bahwa setiap satu serdadu Jerman saja dapat membunuh tiga orang serdadu Prancis.
Serangan dimulai pada tanggal 21 Febuari. Para pemimpin Jerman memerintahkan serdadunya untuk "keluar dari parit mereka," namun tiap serdadu yang melakukannya justru telah tewas atau sekarat dalam sekitar tiga menit. Meskipun penyerangan berlangsung tanpa henti selama berbulan-bulan, Jerman gagal menduduki Verdun.
Secara keseluruhan, kedua pihak kehilangan sekitar satu juta serdadu. Dan dengan pengorbanan itu, garis depan hanya berhasil maju sekitar 12 kilometer. Satu juta orang mati demi selusin kilometer.
Balasan Inggris
Perang Dunia 1
Inggris membalas serangan Jerman di Verdun dengan Pertempuran Somme. Pabrik-pabrik di Inggris membuat ratusan ribu selongsong meriam.
Rencana Jendral Douglas Haig mendorong Pasukan Inggris untuk menghujani dengan pengeboman terus-menerus selama seminggu penuh, yang diikuti dengan serangan infanteri. Dia yakin mereka akan maju sejauh 14 kilometer di hari pertama saja dan kemudian menghancurkan semua garis pertahanan Jerman dalam satu minggu.
Serangan dimulai pada tanggal 1 Juni. Pasukan meriam Inggris menggempur pertahanan Jerman selama seminggu tanpa henti. Di akhir minggu tersebut, para perwira Inggris memerintahkan serdadunya memanjat keluar dari parit. Namun, selama pengeboman tersebut para serdadu Jerman berlindung dengan rapat di kedalaman
peace
Perang Dunia I (juga dinamakan Perang Dunia Pertama, dan nama dalam bahasa Inggris lainnya: Great War, War of the Nations, dan "War to End All Wars" (Perang untuk Mengakhiri Semua Perang) adalah sebuah konflik dunia yang berlangsung dari 1914 hingga 1918.Perang ini dimulai setelah Pangeran Ferdinand dari Austria dibunuh anggota kelompok teroris Serbia, Gavrilo Princip di Sarajevo.

Tidak pernah terjadi sebelumnya konflik sebesar ini, baik dari jumlah tentara yang dikerahkan dan dilibatkan, maupun jumlah korbannya. Senjata kimia digunakan untuk pertama kalinya, pemboman massal warga sipil dari udara dilakukan, dan banyak dari pembunuhan massal berskala besar pertama abad ini berlangsung saat perang ini. Empat dinasti, Habsburg, Romanov, Ottoman dan Hohenzollern, yang mempunyai akar kekuasaan hingga zaman Perang Salib, seluruhnya jatuh setelah perang.
Perang Dunia I menjadi saat pecahnya orde dunia lama, menandai berakhirnya monarki absolutisme di Eropa. Ia juga menjadi pemicu Revolusi Rusia, yang akan menginspirasi revolusi lainnya di negara lainnya seperti Tiongkok dan Kuba, dan akan menjadi basis bagi Perang Dingin antara Uni Soviet dan AS. Kekalahan Jerman dalam perang ini dan kegagalan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang masih menggantung yang telah menjadi sebab terjadinya Perang Dunia I akan menjadi dasar kebangkitan Nazi, dan dengan itu pecahnya Perang Dunia II pada 1939. Ia juga menjadi dasar bagi peperangan bentuk baru yang sangat bergantung kepada teknologi, dan akan melibatkan non-militer dalam perang seperti yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Latar belakang
1. Pembunuhan Pangeran Austria Franz Ferdinand oleh kelompok teroris Serbia, Gavrilo Princip di Sarajevo.
2. Persaingan merebut daerah sumber bahan baku, penanaman modal, dan daerah pemasaran.
3. Munculnya persekutuan / Blok persaingan politik antar negara-negara Eropa : Triple Alliance : Jerman, Austria, Italia, Triple Entente : Inggris, Perancis, Uni Soviet
Di Eropa abad ke-19, penjajahan tersebar luas. Kekuatan bangsa Eropa seperti Inggris dan Prancis telah membangun kekuasaan penjajahan di keempat penjuru dunia. Jerman, yang telah membangun kesatuan politiknya lebih lama daripada negara-negara lain, bekerja keras untuk menjadi pelopor dalam perlombaan ini.
Pada awal abad ke-20, hubungan yang didasarkan pada kepentingan telah membagi Eropa menjadi dua kutub yang berlawanan. Inggris, Prancis, dan Rusia berada di satu pihak, dan Jerman beserta Kekaisaran Austria-Hungaria yang diperintah oleh keluarga Hapsburg asal Jerman berada di pihak lainnya.
Ketegangan antara kedua kelompok ini semakin hari semakin meningkat, hingga akhirnya suatu pembunuhan pada tahun 1914 menjadi pemicu perang. Pangeran Franz Ferdinand, pewaris tahta Kekaisaran Austria-Hungaria, dibunuh oleh kaum nasionalis Serbia yang berusaha menekan pengaruh kekaisaran tersebut di daerah Balkan.
Dalam kurun waktu yang amat singkat, hasutan setelah peristiwa ini menyeret seluruh benua Eropa ke dalam kancah peperangan. Pertama, Austria-Hungaria menyatakan perang kepada Serbia. Rusia, sekutu abadi bangsa Serbia kemudian menyatakan perang terhadap Austria-Hungaria.
Lalu satu demi satu, Jerman, Inggris, dan Prancis, memasuki peperangan. Sumbu sudah dinyalakan.
Bahkan sebelum perang dimulai, Dewan Jenderal Jerman telah membuat rencana dan memutuskan untuk menguasai Prancis melalui serangan mendadak. Untuk mencapai tujuan ini, orang-orang Jerman memasuki Belgia dan kemudian melintasi perbatasan memasuki Prancis. Menanggapi dengan cepat, pasukan Prancis menghentikan pasukan Jerman di tepi Sungai Marne dan memulai suatu serangan balik.
Situasi sebuah parit perlindungan.
Parit PD 1
Perang Dunia menjadi terkenal dengan peperangan parit perindungannya, di mana sejumlah besar tentara dibatasi geraknya di parit-parit perlindungan dan hanya bisa bergerak sedikit karena pertahana yang ketat. Ini terjadi khususnya terhadap Front Barat. Lebih dari 9 juta jiwa meninggal di medan perang, dan hampir sebanyak itu juga jumlah warga sipil yang meninggal akibat kekurangan makanan, kelaparan, pembunuhan massal, dan terlibat secara tak sengaja dalam suatu pertempuran.
Perang parit menjadi strategi utama Perang Dunia Pertama. Selama beberapa tahun berikutnya, bisa dikatakan para serdadu hidup dalam parit-parit ini. Kehidupan di sana benar-benar sulit. Para prajurit hidup dalam ancaman terus-menerus dibom, dan mereka tak henti-hentinya menghadapi ketakutan dan ketegangan yang luar biasa. Mayat mereka yang telah tewas terpaksa dibiarkan di tempat-tempat ini, dan para serdadu harus tidur di samping mayat-mayat tersebut. Bila turun hujan, parit-parit itu dibanjiri lumpur.
Parit PD 2
Lebih dari 20 juta serdadu yang bertempur di Perang Dunia I mengalami keadaan yang mengerikan di dalam parit-parit ini, dan sebagian besar meninggal di sana. Dalam beberapa minggu setelah dimulai oleh serangan Jerman pada tahun 1914, garis barat perang ini sebenarnya terpaku di jalan buntu. Para serdadu yang bersembunyi di parit-parit ini terjebak dalam jarak yang hanya beberapa ratus meter jauhnya satu sama lain. Setiap serangan yang dilancarkan sebagai upaya mengakhiri kebuntuan ini malah menelan korban jiwa yang lebih banyak.

Strategi Jerman
Pasukan Jerman
Di awal tahun 1916, Jerman mengembangkan rencana baru untuk mendobrak garis barat. Rencana mereka adalah secara mendadak menyerang kota Verdun, yang dianggap sebagai kebanggaan orang Prancis. Tujuan penyerangan ini bukanlah memenangkan perang, melainkan menimbulkan kerugian yang besar di pihak Tentara Prancis sehingga melemahkan perlawanan mereka. Kepala staf Jerman Falkenhayn memperkirakan bahwa setiap satu serdadu Jerman saja dapat membunuh tiga orang serdadu Prancis.
Serangan dimulai pada tanggal 21 Febuari. Para pemimpin Jerman memerintahkan serdadunya untuk "keluar dari parit mereka," namun tiap serdadu yang melakukannya justru telah tewas atau sekarat dalam sekitar tiga menit. Meskipun penyerangan berlangsung tanpa henti selama berbulan-bulan, Jerman gagal menduduki Verdun.
Secara keseluruhan, kedua pihak kehilangan sekitar satu juta serdadu. Dan dengan pengorbanan itu, garis depan hanya berhasil maju sekitar 12 kilometer. Satu juta orang mati demi selusin kilometer.
Balasan Inggris
Perang Dunia 1
Inggris membalas serangan Jerman di Verdun dengan Pertempuran Somme. Pabrik-pabrik di Inggris membuat ratusan ribu selongsong meriam.
Rencana Jendral Douglas Haig mendorong Pasukan Inggris untuk menghujani dengan pengeboman terus-menerus selama seminggu penuh, yang diikuti dengan serangan infanteri. Dia yakin mereka akan maju sejauh 14 kilometer di hari pertama saja dan kemudian menghancurkan semua garis pertahanan Jerman dalam satu minggu.
Serangan dimulai pada tanggal 1 Juni. Pasukan meriam Inggris menggempur pertahanan Jerman selama seminggu tanpa henti. Di akhir minggu tersebut, para perwira Inggris memerintahkan serdadunya memanjat keluar dari parit. Namun, selama pengeboman tersebut para serdadu Jerman berlindung dengan rapat di kedalaman parit persembunyian mereka sehingga tidak terlumpuhkan dan menggagalkan rencana Inggris. Begitu serdadu Inggris bergerak melintasi garis depan, serdadu Jerman muncul menyerang mereka dengan senapan mesinnya. Sejumlah total 20.000 serdadu Inggris tewas dalam beberapa jam pertama perang tersebut. Di dalam kegelapan malam itu, daerah di antara dua garis pertempuran penuh dengan puluhan ribu mayat dan juga serdadu yang terluka, yang mencoba merangkak mundur.
Pertempuran Somme tidak berlangsung dua minggu seperti yang direncanakan Jendral Haig, melainkan lima bulan. Bulan-bulan ini tidak lebih daripada pembantaian. Para jendral bertubi-tubi mengirimkan gelombang demi gelombang serdadu mereka menuju kematian yang telah pasti. Di akhir pertempuran, kedua belah pihak secara keseluruhan telah kehilangan 900.000 prajuritnya. Dan untuk ini, garis depan bergeser hanya 11 kilometer. Para serdadu ini dikorbankan demi 11 kilometer saja.
parit persembunyian mereka sehingga tidak terlumpuhkan dan menggagalkan rencana Inggris. Begitu serdadu Inggris bergerak melintasi garis depan, serdadu Jerman muncul menyerang mereka dengan senapan mesinnya. Sejumlah total 20.000 serdadu Inggris tewas dalam beberapa jam pertama perang tersebut. Di dalam kegelapan malam itu, daerah di antara dua garis pertempuran penuh dengan puluhan ribu mayat dan juga serdadu yang terluka, yang mencoba merangkak mundur.


Perang Irak Bagian Paling Sulit Dalam Sejarah AS

Jakarta - Amerika Serikat (AS) secara resmi menarik seluruh pasukannya dari Irak mulai, Kamis (2/9) waktu AS. Menurut Presiden AS Barack Obama, Perang Irak merupakan masa-masa paling sulit yang dihadapi dalam sejarah perang Amerika.

" Ini semua merupakan masa-masa paling sulit yang kita hadapi dalam salah satu sejarah perang Amerika yang paling panjang," kata Barack Obama seperti ditulis dalam email press release yang dikeluarkan Kedubes AS untuk Indonesia, Rabu, (1/9).

Perang Irak sendiri telah berlangsung hampir satu dasawarsa. Selama itu AS mengalami resesi yang panjang dan menyakitkan. 7,5 tahun lalu, Presiden Bush mengumumkan dimulainya operasi militer di Irak. Lantas pertempuran untuk melucuti senjata negara menjadi pertarungan melawan pemberontakan.

"Kita telah mengalami resesi yang panjang dan menyakitkan. Dan terkadang di tengah badai ini, masa depan yang kita upayakan untuk membangun demi negeri ini sepertinya berada jauh dari jangkauan kita," tambah Obama.

Akibat Perang Irak, pertempuran terorisme dan sektarian telah mengancam timbulnya perpecahan di Irak. Puluhan ribu orang terluka. Hubungan AS dengan luar negeri menjadi tegang. Persatuan di dalam negeri diuji.

"Maka malam ini, saya mengumumkan bahwa misi pertempuran Amerika di Irak telah berakhir. Operasi Pembebasan Irak telah usai, dan rakyat Irak bertanggung jawab atas keamanan negeri mereka sendiri," tegasnya.

"Sore ini, saya berbicara dengan mantan Presiden George W. Bush. Semua orang
tahu bahwa ia dan saya berselisih paham tentang perang ini sejak awal. Namun tak seorang pun dapat meragukan dukungan Presiden Bush bagi pasukan kita, atau cintanya pada negara dan komitmennya pada keamanan kita," tutupnya.

Harus Siap Serang Iran

Sementara itu dari London dilaporkan, mantan Perdana Menteri (PM) Inggris Tony Blair dalam wawancara dengan BBC menyatakan dunia internasional harus siap melakukan aksi militer terhadap Iran jika rezim negeri itu mengembangkan senjata nuklir. Sebab upaya Iran untuk mengembangkan senjata nuklir sama sekali tak bisa diterima.

"Saya katakan bahwa saya pikir sama sekali tak bisa diterima jika Iran memiliki kemampuan senjata nuklir dan saya pikir kita harus siap mengkonfrontir mereka, secara militer jika diperlukan," kata Blair saat mempromosikan buka biografinya berjudul "A Journey", Kamis (2/9).

Ditekankan Blair, tak ada alternatif selain aksi militer jika Iran terus mengembangkan senjata nuklir. "Saya pikir tak ada alternatif untuk itu jika mereka terus mengembangkan senjata nuklir. Mereka (Iran) perlu mendapatkan pesan itu dengan tegas dan jelas," cetus Blair.

Dalam wawancara itu, Blair juga mengatakan dirinya sangat menyesal atas jatuhnya korban jiwa di Irak. Namun Blair tidak menyesali keputusan melancarkan perang Irak. Menurut Blair, membiarkan Saddam Hussein berkuasa akan mendatangkan risiko yang lebih besar bagi keamanan dibanding dengan menggulingkannya.

Perang Padri ; Gerakan perlawanan rakyat Sumatera Barat terhadap Belanda dipimpin oleh Imam Bonjol

Dalam perjanjian dan ikrar rahasia di lereng gunung Tandikat itu, telah ditetapkan bahwa tanggal 11 Januari 1833, kaum Padri dan golongan penghulu beserta rakyat Sumatera Barat secara serentak melakukan serangan kepada pasukan Belanda. Awal serangan rakyat Minangkabau ini terhadap pasukan Belanda banyak mengalami kemenangan, terutama di daerah sekitar benteng Bonjol, di mana pasukan Belanda ditempatkan untuk melakukan blokade. Pasukan Belanda yang langsung dipimpin oleh Letnan Kolonel Vermeulen Krieger, pimpinan tertinggi militer di Sumatera Barat, di daerah Sipisang diporak-porandakan oleh pasukan Padri, sehingga, banyak sekali serdadu Belanda yang mati terbunuh. Hanya Letnan Kolonel Vermeulen Krieger dan beberapa orang anak buahnya yang dapat menyelamatkan diri dari pembunuhan itu. Karena semua jalan terputus maka terpaksa Letnan Kolonel Vermeulen Krieger dengan anak buahnya yang tinggal beberapa orang itu menempuh jalan hutan belantara untuk bisa kembali ke Bukittinggi.
Apabila di daerah Alahan Panjang, serangan secara serentak dapat dilakukan oleh rakyat Minangkabau dan berhasil memukul mundur pasukan Belanda, tetapi di Luhak Tanah Datar dan Luhak Agam, serangan itu tidak dapat dilaksanakan. Faktor penyebabnya ialah banyak daerah-daerah di sini belum menerima informasi dari hasil Ikrar Tandikat; disamping banyak daerah-daerah strategis yang dikuasai Belanda. Bahkan ada juga informasi ikrar ini jatuh ke tangan Belanda, sehingga orang-orang yang dicurigai segera ditangkap. Di samping itu memang masih banyak para penghulu atau kepala adat yang tetap setia kepada Belanda.
Timbulnya perlawanan serentak dari seluruh rakyat Minangkabau, sebagai realisasi ikrar Tandikat, memaksa Gubernur Jenderal Van den Bosch pergi ke Padang pada tanggal 23 Agustus 1833, untuk melihat dari dekat tentang jalannya operasi militer yang dilakukan oleh pasukan Belanda. Sesampainya di Padang, ia melakukan perundingan dengan Jenderal Riesz dan Letnan Kolonel Elout untuk segera menaklukkan benteng Bonjol, yang dijadikan pusat meriam besar pasukan Padri, Riesz dan Elout menerangkan bahwa belum datang saatnya yang baik untuk mengadakan serangan umum terhadap benteng Bonjol, karena kesetiaan penduduk Agam masih disangsikan, dan mereka sangat mungkin kelak me¬nyerang pasukan Belanda dari belakang. Tetapi Jenderal Van den Bosch bersikeras untuk segera menaklukkan benteng Bonjol, dan paling lambat tanggal 10 september 1853 Bonjol harus jatuh. Kedua opsir tersebut meminta tangguh enam hari lagi, sehingga jatuhnya Bonjol diharapkan pada tanggal 16 September 1833.
Meskipun demikian, kedua opsir tersebut belum yakin dapat melaksanakan rencana yang telah diputuskannya, sebab besar sekali kesulitan-kesulitan yang harus dihadapinya. Pertama, karena mereka harus rnengerahkan tiga kolone: satu kolonne harus menyerang Bonjol dengan melalui Suliki dan Puar Datar di Luhak Lima Puluh Kota, dan satu kolonne dari Padang Hilir melalui Manggopoh dan Luhak Ambalau, dan kolonne ketiga dari Ram melalui Lubuk Sikaping. Dan disamping itu harus disiapkan pula satu kolonne yang pura-pura menyerang Padri di daerah Matur, supaya pasukan Padri mengerahkan pasukannya ke sana. Sebelum pasukan menyerbu ke Bonjol, kolonne-kolonne itu harus mampu menundukkan dan menaklukkan daerah-daerah di sekelilingnya, dan merusakkan semua pertahanan rakyat di Luhak Agam.
Rakyat Padang Datar umumnya marah betul kepada tentara Belanda, karena melihat kekejaman dan kesadisannya di Guguk Sigadang; dan rasa benci kepada kaki-tangan Belanda yang bersifat sewenang-wenang serta mencurigai dan menangkap rakyat awam.
Sementara itu, Mayor de Quay mengutus Tuanku Muda Halaban untuk membujuk Imam Bonjol supaya suka berunding dan berdamai dengan Belanda. Imam Bonjol menyatakan kepada Tuanku Muda Halaban, bahwa ia bersedia berunding di suatu tempat yang telah ditetap¬kan. Akhirnya perundingan itu dapat dilaksanakan.
Dalam kesempatan perundingan ini, tenggang waktu yang tersedia itu digunakan dengan sebaik-baiknya oleh Belanda untuk menyiapkan pasukannya, di samping diharapkan pasukan Padri menjadi lengah. Untuk memudahkan mencapai Bonjol, maka Mayor de Quay mengerahkan pasukannya yang dibantu oleh 1500 penduduk dari Lima Puluh Kota untuk membuat jalan melalui hutan-hutan lebat, yang membatasi Luhak Lima Puluh Kota dengan Lembah Alahan Panjang.
Pasukan Padri ternyata tidak lengah untuk terus mengamat-amati semua persiapan tentara Belanda itu, sehingga. semua jalan masuk ke Lambah Alahan Panjang ditutupnya dengan pelbagai rintangan, dikiri kanan jalan dipersiapkan kubu-kubu pertahanan.
Di satu bukit, di tepi jalan ke Tujuh Kota, di dekat Batu Pelupuh, di puncaknya yang kerap kali ditutupi kabut dan awan, dibuat oleh pasukan Padri sebuah kubu pertahanan. Dari sini dapat diperhatikan segala gerak-gerik pasukan Belanda dari jarak jauh. Kubu pertahanan pasukan Padri yang strategis ini diketahui, oleh Belanda. Karenanya pada tanggal 10 September 1833, Jenderal Riesz mengerahkan rakyat Agam yang setia kepada Belanda untuk menaklukkan kubu tersebut. Usaha penaklukan kubu ini gagal total, dimana sebagian besar pasukan rakyat Agam mati dan luka-luka, dan memaksa mereka kembali ke Bukittinggi.
Besok paginya, yakni tanggal 11 September 1833, Belanda mengerahkan 200 orang tentaranya yang di¬lengkapi dengan meriam dan diperkuat oleh pasukan golongan adat dari Batipuh dan Agam. Pada Jam 05.00 pagi pasukan Belanda telah dapat mendaki bukit per¬tahanan pasukan Padri. Tetapi kira-kira 150 langkah mendekati kubu pertahanan, dengan sekonyong-konyong pasukan Padri mendahului menyerang pasukan Belanda. Pertempuran sengit terjadi, diantara kedua belah pihak banyak korban berjatuhan. Tetapi karena kekuatan yang tak seimbang, akhirnya pasukan Padri mengundurkan diri turun ke desa Batu Pelupuh dan bertahan di belakang pematang-pematang sawah. Belanda mengerahkan pasukannya untuk mengejarnya, dengan sangat cerdik pasukan Padri bersembunyi ke hutan-hutan lebat yang sulit untuk dikejar oleh pasukan Belanda. Desa Batu Pelupuh dan tujuh desa lainnya yang ditinggalkan pasukan Padri habis dirampok dan dibumi-hanguskan oleh pasukan Belanda. Walaupun pasukan Padri kalah, tetapi di pihak Belandapun banyak sekali yang mati dan luka-luka; dan dengan susah payah mereka dapat kembali ke Bukittinggi.
Setelah kubu pertahanan di bukit dekat Alahan Panjang dapat direbut pasukan Belanda, maka Jenderal Riesz memusatkan serangan tipuan ke Matur. Sebagian pasukannya diharuskan menduduki daerah Pantar, sebuah desa yang letaknya di seberang jurang dekat kubu pertahanan pasukan Padri. Pasukan Belanda ini dibantu oleh pasukan ada 600 orang dari Batipuh, 400 orang dari Banuhampu, 300 orang dari Sungai Puar, 340 orang dari Empat Kota, 604 orang dari Ampat Angkat, dan 240 ¬orang dari Tambangan; seluruhnya berjumlah 2400 orang. Tetapi sebelum tentara Belanda datang di Pantar, pada pagi-pagi sekali tanggal 12 September 1833, desa tersebut telah dibumi-hanguskan oleh pasukan Padri. Di selatan Pantar yang telah menjadi lautan api, Belanda membuat kubu pertahanan untuk menahan serangan¬-serangan pasukan Padri. Tetapi pasukan Padri pun me¬ngerti bahwa serangan pasukan Belanda ini hanya merupakan pancingan, karenanya mereka tetap bertahan di kubu-kubu pertahanan mereka masing-masing.
Sementara itu pasukan Padri memperkuat Kota Lalang guna menaban tentara Belanda yang datang dari arah Suliki yang dipimpin oleh Mayor de Quay. Pada tanggal 13 September 1833 pasukan Belanda telah dihadang oleh pasukan rakyat dari Tanah Datar, sehingga perjalanannya terhambat. Dan baru pada tanggal 14 ¬September 1833 tentara Belanda melanjutkan serangan¬nya ke Kota Lalang, yang dipertahankan dengan gigih oleh pasukan Padri. Tentara Belanda banyak yang mati dan luka-luka. Pertempuran berlangsung siang-malam dengan dahsyatnya, yang masing-masing pihak me¬ngerahkan semua kekuatannya. Karena kekuatan pasukan Padri yang jauh lebih kecil dan lebih sederhana persenjataannya, akhirnya mengundurkan diri ke hutan belantara yang sulit dikejar oleh tentara Belanda.
Kota Lalang yang ditinggalkan pasukan Padri dijaga oleh pasukan Jawa dan Adat; dan tentara Belanda yang dibantu oleh ratusan pasukan adat dari Batipuh dan Lima Puluh Kota meneruskan penyerbuannya menuju Bonjol. Dalam perjalanan yang sulit ini pasukan Belanda senantiasa terjebak dengan serangan pasukan Padri dari belakang yang bersembunyi di hutan lebat.
Serangan gerilya pasukan Padri dengan taktik “serang dengan tiba-tiba dan lenyap secara tiba-tiba”, me¬nimbulkan kerugian yang besar bagi pasukan Belanda; dan karenanya menimbulkan rasa takut bagi pasukan-pasukan adat yang membantunya. Dengan diam-diam pasukan adat meninggalkan pasukan Belanda, sehingga menyulitkan pasukannya untuk melanjutkan penyerbu¬an. Hujan yang turun terus-menerus menambah ke¬sulitan lagi bagi pasukan Belanda, selain pasukan yang basah kuyup hampir mati kedinginan, juga pasukan pembawa makanan dan perlengkapan perang yang terdiri dari pribumi, banyak yang tak tahan dan akhirnya melarikan diri. .
Dengan sisa-sisa kekuatan, pasukan Belanda sampai memasuki lembah Air Papa. Di lembah ini, yang sisi-sisi tebingnya cukup curam, digunakan oleh pasukan Padri sebagai kubu pertahanan dengan mudah menembak pasukan Belanda yang berada di bawah lembah. Dalam posisi yang demikian, terpaksa pasukan Belanda memusatkan pasukannya di lembah yang agak gersang, yang jauh dari jangkauan pasukan Padri. Daerah terbuka yang digunakan pasukan Belanda memudahkan serangan bagi Pasukan Padri. Kelemahan ini benar-benar digunakan oleh pasukan Padri. Serangan yang datang dengan tiba-tiba, menyebabkan timbulnya kepanikan di kalangan pasukan Belanda, dimana akhirnya tidak ada jalan lain kecuali mengundurkan diri dan membatalkan rencana penyerbuan selanjutnya. Dengan diam-diam pasukan Belanda pada malam hari mening¬galkan medan pertempuran kembali ke Payakumbuh, dengan meninggalkan korban yang mati maupun yang luka-luka banyak sekali.
Dari front barat, pasukan Padri telah mengetahuinya bahwa tentara Belanda akan menyerang dari Manggopoh. Rakyat yang tinggal di sekitar Manggopoh seperti Bukit Maninjau dan Lubuk Ambalau diyakinkan dan diancam oleh pasukan Padri untuk tidak membantu pasukan Belanda.
Kolonne Belanda yang menyerang dari jurusan Manggopoh itu dipimpin oleh Letnan Kolonel Elout. Mereka berangkat ke Tapian Kandi tanggal 11 September 1835. Di daerah ini saja pasukan Belanda telah men¬dapat perlawanan pasukan Padri yang cukup sengit, hanya karena tembakan meriam yang bertubi-tubi pasukan Padri terpaksa mundur ke daerah Pangkalan. Pasukan Belanda terus mendesak pasukan Padri di Pangkalan; pertempuran sengit terjadi hampir tiap langkah dari perjalanan pasukan maju Belanda. Hanya dengan pengorbanan yang besar pasukan Padri dapat dipukul mundur dan pasukan Belanda dapat sampai di Kota Gedang.
Dari dataran tinggi Kota Gedang ini ada dua jalan; yaitu ke utara menuju Bonjol dengan melalui Tarantang Tunggang, dan ke timur menuju XII Kota. Letnan Kolonel Elout pergi ke Tanjung untuk bertemu dengan Tuanku nan Tinggi dari Sungai Puar guna mendapat petunjuk jalan yang terbaik untuk mencapai Bonjol. Tuanku dari Sungai Puar memberi petunjuk jangan pergi ke Bonjol melalui XII Kota, karena rakyat di sana pasti akan menghambatnya. Karenanya ia kembali ke Kota Gedang, tetapi gudang perbekalan pasukan Belanda yang dikawal tidak begitu kuat disaat ditinggalkan telah habis dibakar oleh rakyat. Dalam kondisi seperti ini, Letnan Kolonel Elout sebagai komandan pasukan Belanda dari sektor barat memutuskan untuk mengundurkan diri.ke Kota Merapak. Gerakan mundur pasukan Belanda diketahui oleh pasukan Padri, kesempatan dan peluang ini digunakan sebaik-baiknya untuk melakukan pengejaran, dengan taktik gerilya.
Serangan gerilya yang dilakukan pasukan Padri berhasil dengan gemilang bukan saja ratusan tentara Belanda dan pasukan adat yang mati terbunuh, tetapi juga hampir semua perlengkapan perang seperti meriam dan perbekalan semuanya dapat dirampas. Pasukan Belanda hanya dapat membawa senjata dan pakaian yang melekat di tangan dan badannya.
Pada tanggal 18 September 1833 pasukan Belanda telah sampai di Alai, kira-kira dua kilometer dari benteng Bonjol. Di sini pasukan Belanda telah mendapat per¬lawanan yang luar biasa oleh pasukan Padri, pertempuran sudah sampai satu lawan satu. Akibatnya korban di pihak pasukan Belanda banyak sekali baik yang mati maupun luka-luka. Untuk menghindari korban yang lebih banyak, akhirnya-pasukan Belanda mengundurkan diri ke Bonjol Hitam. Pengunduran diri pasukan Belanda ini diikuti terus dengan serangan-serangan pasukan Padri, baik siang maupun malam hari.
Karena terancam oleh kehancuran total, disamping ternyata dua kolonne dari timur maupun barat telah mengundurkan diri, maka Mayor Eilers, pada tanggal 19 September 1833 memutuskan untuk mengundurkan diri, kembali ke pangkalan. Agar selamat dari sergapan pasukan Padri di tengah jalan, pengunduran diri harus dilakukan tengah malam.
Pada saat maghrib tiba, disaat tentara Belanda sedang sibuk berkemas-kemas untuk melarikan diri, tiba-tiba menjadi panik, karena pasukan Padri menyerbu dengan cepat dan keras. Pasukan Rao dan Mandahiling berhamburan keluar mencari selamat dengan meninggalkan segala persenjataan dan perlengkapannya. Tentara Belanda juga tak mampu menguasi keadaan dan bahkan turut lari tanpa menghiraukan teriakan komandannya Mayor Eilers. Keadaan panik dan kacau, menyebabkan pasukan Belanda. meninggalkan begitu saja meriam dan granat-granat serta senjata-senjata lainnya. Bahkan pasukan yang luka parah sebanyak 50 orang ditinggalkan begitu saja, sampai mati terbunuh semuanya. Hanya dengan susah payah, sisa-sisa pasukan Belanda pada tanggal 20 September 1835, baru dapat selamat ke pangkalan.
Pengunduran diri pasukan Belanda adalah atas per¬setujuan Jenderal Van den Bosch; karenanya ia datang sendiri ke Guguk Sigandang untuk menerima pasukan-pasukan yang kalah itu. Dihadapan pasukannya, Jenderal Van den Bosch berucap: “Bila keadaan memang tidak mengizinkan, dan kesulitan begitu besar, sehingga sulit diatasi, pasukan boleh ditarik mundur; menunggu waktu yang tepat. Tetapi bagaimanapun Bonjol harus ditaklukkan”.
Pada tanggal 21 september 1833, Jenderal Van den Bosch memberi laporan ke Batavia bahwa penyerangan ke Bonjol gagal dan sedang diusahakan untuk konsolidasi guna penyerangan selanjutnya.
Selama tahun 1834 tidak ada usaha yang sungguh-sungguh yang dilakukan oleh pasukan Belanda untuk menaklukkan Bonjol, markas besar pasukan Padri, kecuali pertempuran kecil-kecilan untuk membersihkan daerah-daerah yang dekat dengan pusat pertahanan dan benteng Belanda. Selain itu pembuatan jalan dan jembatan, yang mengarah ke jurusan Bonjol terus dilakukan dengan giat, dengan mengerahkan ribuan tenaga kerja paksa. Pembuatan jalan dan jembatan itu dipersiapkan untuk memudahkan mobilitas pasukan Belanda dalam gerakannya menghancurkan Bonjol.
Baru pada tanggal 16 April 1835, pasukan Belanda memutuskan untuk mengadakan serangan besar-besaran untuk menaklukkan Bonjol dan sekitarnya. Operasi militer dimulai pada tanggal 21 April 1835, dimana dua kolonne pasukan Belanda yang berkumpul di Matur dan Bamban, bergerak menuju Masang. Meskipun sungai itu banjir, mereka menyeberangi juga dan terus masuk menyelusup ke dalam hutan rimba; mendaki gunung dan menuruni lembah; guna meghindarkan dari kubu-kubu pertahanan Padri yang dipasang disekitar tepi jalan.
Pada tanggal 23 April 1835 pasukan Belanda telah sampai di tepi sungai Batang Ganting, terus menyeberang dan kemudian berkumpul di Batu Sari. Dari sini hanya ada satu jalan sempit menuju Sipisang, daerah yang dikuasai oleh pasukan Padri. Jalan sepanjang menuju Sipisang dipertahankan oleh pasukan Padri dengan pimpinan Datuk Baginda Kali. Serangan-serangan pasukan Padri untuk menghambat laju pasukan Belanda memang cukup merepotkan dan melelahkan, tetapi tidak berhasil menahan secara total.
Sesampainya di Sipisang, pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan pasukan Padri berjalan sangat kejam, tiga hari tiga malam pertempuran berlangsung tanpa henti, sampai korban di kedua belah pihak banyak yang jatuh. Hanya karena kekuatan yang jauh tak sebanding, pasukan Padri terpaksa mengundurkan diri ke hutan-hutan rimba dan menyeberangi kali. Jatuhnya daerah Sipisang, dijadikan oleh pasukan Belanda untuk kubu pertahanannya, sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol.
Selain itu, satu kolonne pasukan Belanda pada tanggal 24 April 1835 berangkat menuju daerah Simawang Gedang, yaitu daerah yang dikuasai pasukan Padri. Dengan kekuatan hanya 500 orang pasukan Padri mencoba menahan tentara Belanda yang jumlah dan kekuatannya jauh lebih besar. Pertempuran dahsyat tak terhindari lagi, berjalan alot; walau akhirnya pasukan Padri mengundurkan diri.
Satu kompi pasukan tentara Bugis yang dibantu oleh pasukan adat dari Batipuh dan Tanah Datar bertugas untuk mengusir pasukan Padri yang berada di luar daerah Simawang Gadang. Bahkan pasukan Bugis bersama-sama pasukan adat Batipuh dan Tanah Datar berhasil mendesak pasukan Padri sampai ke Batang Kumpulan. Tetapi disini telah menunggu 1200 orang pasukan Padri untuk menghadang gerakan maju pasukan Belanda. Usaha ofensi pasukan Belanda yang terdiri dari pasukan Bugis, Batipuh dan Tanah Datar diporak-porandakan oleh pasukan Padri, hampir-hampir sebagian terbesar mati terbunuh.
Kalaulah tidak segera bala bantuan pasukan Belanda datang dengan cepat dan dalam jumlah besar, dapat diduga bahwa pasukan Belanda yang terdepan itu akan musnah seluruhnya. Datangnya bala bantuan pasukan Belanda bukan dapat menyelamatkan sisa-sisa pasukanriya yang telah cerai-berai; tetapi juga mampu mendesak pasukan Padri, sehingga daerah Kampung Melayu yang menjadi ajang pertempuran dapat dikuasai oleh Belanda.
Kampung Melayu terletak di tepi sebatang sungai kecil, Air Taras namanya. Tidak berapa jauh ke hilir sungai itu bertemu dengan sungai Batang Alahan Panjang. Kampung Melayu tersembunyi di dalam sebuah lembah yang dilingkari oleh bukit-bukit tinggi yang terjal.
Pasukan Padri yang mengundurkan diri dari daerah Kampung Melayu, bersembunyi di bukit-bukit terjal dengan kubu-kubu pertahanan yang tersembunyi, untuk menjepit pasukan Belanda yang ada di Air Taras. Pada tanggal 27 April 1835, pasukan Belanda mencoba menyerang pasukan Padri yang berada di bukit-bukit terjal itu; tetapi hasilnya nihil, bahkan puluhan tentaranya yang mati dan luka-luka.
Selama tiga hari pasukan Belanda melakukan konsolidasi dengan menambah pasukannya. Baru pada tanggal 3 Mei 1835 operasi militer dapat dilanjutkan. Tetapi, baru saja dimulai, Letnan Kolonel Bauer komandan pasukan Belanda telah terluka kena ranjau. Di saat pasukan Belanda menyeberangi sungai Air Taras di¬serang oleh pasukan Padri, sehingga banyak pasukan¬nya yang tenggelam dan mati, karena senjata yang digunakan macet terendam air. Pertempuran kemudian berkembang menjadi perang tanding, yang tentunya menguntungkan pasukan Padri. Tetapi karena pasukan Belanda jauh lebih besar, akhirnya pasukan Padri terdesak dan meninggalkan kubu-kubu pertahanan yang ada di bukit-bukit terjal itu. Kemajuan yang diperoleh pasukan Belanda di daerah ini tidak langgeng karena tidak berapa lama pasukan Padri datang menyerang dengan kekuatan sekitar 500 orang.
Karena merasa daerah ini kurang aman, maka pasukan Belanda sebelum meninggalkannya telah melakukan perampokan dan pembakaran rumah-rumah penduduk dan ladang-ladang, sehingga menjadi daerah yang hangus terbakar.
Laju pasukan Belanda menuju Bonjol sangat lamban, hampir sebulan waktu yang diperlukan untuk bisa mendekati daerah Alahan Panjang. Front terdepan dari Alahan Panjang adalah Padang Lawas, yang secara penuh dikuasai oleh Pasukan Padri. Pada tanggal 8 Juni 1855 pasukan Belanda yang mencoba maju ke front Padang Lawas dihambat dengan, pertempuran sengit oleh pasukan Padri. Hanya dengan pasukan yang besar dan kuat persenjataannya dapat memukul mundur pasukan Padri, dan menguasai front Padang Lawas.
Pada tanggal 11 Juni 1835 pasukan Belanda menuju sebelah timur sungai Alahan Panjang, sedangkan pasukan Padri berada di seberangnya pasukan musuh yang bersembunyi di benteng-benteng partahanannya senantiasa mendapat serangan gerilya dari pasukan Padri, sehingga selama lima hari-lima malam, pasukan musuh tidak dapat maju dan bahkan kehilangan 7 orang serdadunya mati dan 84 orang luka-luka.

Sejarah Perlawanan Rakyat Aceh Melawan Belanda

Sejarah Perlawanan Rakyat Aceh Melawan Belanda, Pada tanggal 12 Februari 1904 pasukan Belanda telah tiba di daerah tujuan,yaitu di daerah Gayo Laut, kira-kira 50 kilometer dari Takengon. Tetapi begitu Belanda menginjakkan kakinya di desa dekat Ketol, disambut dengan pertempuran sengit yang pertama, dimana pasukan Belanda mengalami korban, baik mati maupun luka-luka.

Dalam perjalanan menuju Takengon, pasukan Belanda tidak henti-hentinya mendapat perlawanan, Sampai mereka berhasil membuat markasnya di desa Kung, kira-kira 7 kilometer ari Takengon. Dari markas yang baru didirikan ini, pasukan Belanda melakukan operasi m iliter di sekitar Gayo Laut. Walau perlawanan pasukan rakyat Gayo cukup sengit, dan hampir setiapdaerah yang dilalui pasukan Belanda terjadi pertempuran, tetapi akhirnya daerah Gayo Laut pun jatuh ke tangan pasukan kolonial.
Setelah pasukan Belanda berhasil menguasai daerah Gayo Laut, operasi militernya maju menuju Gayo Lues, dimana pada tanggal 9 Maret 1904, pasukannya telah mencapai daerah Kla, yaitu daerah yang merupakan pintu masuk Gayo Lues. Berbeda dengan pertempuran di Gayo Laut, di sini rakyat memperkuat pertahanannya dengan benteng-benteng yang dibangun dari tanah
dicampur batu-batu. Di sekelilingnya dibuat pagar kayu berduri yang telah dibuat runcing, dan dilapisi pula dengan tanaman hidup bambu berduri, yang oleh orang Gayo disebut 'uluh kaweh' yang berlapis-lapis. Kemudian dipasang pula bambu runcing dan kayu runcing dalam bentuk ranjau-ranjau.

Di bagian dalam benteng dibu
at lobang-lobang perlindungan, lubang pengintaian lubang penembak di bagian dinding-dinding benteng. Selain itu dibuat pula lubang perlindungan untuk wanita dan anak-anak di dalam benteng tersebut. Dengan cara ini, benteng pertahanan rakyat Gayo berusaha menahan serangan pasukan Belanda yang jauh lebih kuat dan modern.

Salah satu bukti tentang pertempuran benteng yang dahsyat, yaitu benteng Gemuyang, setelah berhari-hari bertempur, akhirnya baru jatuh setelah rakyat Gayo sebanyak 308 orang tewas : antaranya 168 orang laki--laki, 92 orang wanita dan 48 orang anak-anak. Sedangkan korban dari pihak pasukan Belanda hanya dua orang tewas dan 15 orang luka-luka berat.

Kuta Reh

Pertempuran di benteng Reket Goib antara pasukan penyerbu dengan pasukan rakyat Gayo lebih berimbang, sehingga korban yang jatuh di kedua belah pihak cukup banyak. Di pihak rakyat Gayo telah meninggal dunia sebanyak 148 orang: antaranya 143 orang pria, 41 orang wanita dan anak-anak. Korban di pihak pasukan Belanda: 7 orang mati, diantaranya 2 orang perwira dan 42 orang luka-luka berat, diantaranya 15 orang perwira.
Pertempuran dari benteng ke benteng yang tersebar di daerah-daerat Gayo tidak kurang dari sepuluh buah banyaknya, dengan korban ribuan rakyat Gayo yang mati terbunuh. Hanya dengan cara itu pasukan Belanda dapat menaklukkan Gayo.

Setelah daerah Gayo berhasil ditundukkan, maka pada tanggal 13 Juni 1904 pasukan Belanda melanjutkan serangan ke daerah Alas, dengan sasaran utamanya desa Batu Mbulen dimana tinggal seorang ulama besar bernama Teungku Haji Telege Makar dengan pondok pesa ntrennya. Mendengar k
edatangan pasukan Belanda mau menyerbu kaum muslimin, dengan pimpinan para ulama mereka mengosongkan desa tersebut dan semuanya berkumpul di
benteng Kute Reh yang telah disiapkan jauh sebelum pasukan musuh datang.

Pertempuran dahsyat dan bermandikan darah berlangsung berhari-hari antara pasukan musuh dengan pasukan kaum muslimin di benteng Kute Reh tersebut. Benteng Kute Reh jatuh ke tangan pasukan Belanda, setelah 561 orang pasukan yang mempertahankan benteng itu tewas, diantaranya 313 orang pria, 189 orang wanita, dan 59 orang anak-anak. Sedangkan di pihak musuh hanya dua orang mati dan 17 orang luka-luka berat.

Pada tanggal 20 Juni 1904 pasukan Belanda dibawah pimpinan Van Daalen sendiri melanjutkan penyerbuannya ke benteng Likat. Pertempuran sengit bermandikan darah berlangsung dahsyat dan ngeri. Sebab pasukan Belanda main bantai tanpa pandang bulu, sehingga 432 orang mati terbunuh, diantaranya 220 pria,
124 wanita, dan 88 orang anak-anak. Dipihak pasukan musuh yang mati hanya seorang dan 18 orang tentara luka-luka, termasuk Letnan Kolonel Van Daalen dan Kapten Watrin.
Daerah Alas dapat dikuasai pasukan Belanda setelah jatuhnya benteng Lengat Baru pada tanggal 24 Juli 1904, dengan korban yang sangat besar di pihak rakyat Alas, di mana 654 orang tewas, diantaranya 338 orang pria dan 186 wanita serta anak-anak 130 orang.Di pihak musuh hanya 4 orang mati.
Keganasan Pasukan Marsose dari yang tergabung prajurit Belanda, Jawa, Menado dan Ambon Yang dipimpin oleh Van Daalen.

Sebagaimana telah terjadi di daerah-daerah lainnya di Aceh, jika pertempuran terbuka telah tidak mungkin dilakukan, kar
ena kekuatan yang tak seimbang dengan pasukan musuh, maka 'perang gerilya' merupakan satu-satunya jawaban untuk melumpuhkan pasukan Belanda. Di Gayo dan Alas pun berlaku hal yang sama. Apalagi daerah Gayo dan Alas adalah daerah
bergunung-gunung dan berhutan lebat, sehingga 'perang gerilya' yang dilakukan rakyat Gayo dan Alas sangat menguntungkan. Dan sebaliknya pasukan Belanda tidak pernah bisa tinggal tenteram di daerah-daerah yang didudukinya.

Pada bulan Maret 1904 sebuah kolonne yang terdiri dari enam brigade marsose, yaitu kira-kira 160 orang tentara, masuk ke dalam jebakan pasukan gerilya muslimin yang berkekuatan sebanyak 300 orang gerilyawan. Dengan gerak cepat dan ketangkasan yang luar bi asa, pasukan gerilyawan muslimin Aceh ini menyerang dengan kelewang dan rencong terhadap pasukan marsoseyang terjebak itu. Seluruh pasukan Belanda sebanyak 160 orang tentara mati terbunuh, ter-masuk Kapten Campion yang mati karena luka-luka berat.

Pasukan gerilyawan muslimin Aceh masih terus efektif melakukan serangan-serangan terhadap pasukan Belanda di daerah-daerah seperti Lhong, dimana pada tahun 1925 dan tahun 1926 dan kemudian pada tahun 1953 telah berkembang menjadi 'perang terbuka'. Untuk mengatasi kekuatan gerilyawan muslimin Aceh ini, pemerintah kolonial Belanda mengumpulkan kembali bekas-bekas pasukan marsose dari seluruh Hindia Belanda. Operasi-operasi pasukan marsose di sungai atau di darat seringkali terjebak oleh pasukangerilya-wan muslimin, sehingga dapat dihancurkan secara total. Bahkan bivak-bivak rahasia pasukan marsose sering diserang dan dibakar oleh pasukan gerilyawan.

Pada bulan Desember 1909, Letnan B.J. Schmidt mendapat perintah untuk menyerang pasukan gerilyawan muslimin Tiro di daerah Tangse. Menurut taksiran, kekuatan pasukan gerilyawan muslimin Tiro ini berjumlah 250 orang. Dengan menggunakan dua brigade pasukan marsose, Schmidt secara sistimatis me-nyerang dan menangkap pasukan gerilyawan muslimin Tiro, di mana pada tahun 1909 dan 1911 dapat dikatakan hampir seluruhnya tertangkap.

Keberhasilan pasukan Belanda dalam menumpas pasukan gerilyawan muslimin Tiro ini karena pengkhianatan orang-orang Aceh sendiri, yaitu para kaum bangsawan yang menjadi kolaborator Belanda.

Pada bulan Desember 1911, perwira Marsose dengan pasukannya bernama Nussy menyerang tempat persembunyian gerilyawan muslimin Tiro yang terakhir, yang tinggal tiga orang saja lagi. Dalam serangan ini, dua orang dari tiga gerilyawan muslimin Tiro ini tewas menjadi syuhada, dan ternyata yang seorang itu bernama Cit Ma'az (Ma'at), adalah keturunan terakhir dari Syeikh Saman, tokoh utama perang Aceh. Dengan wafatnya Cit Ma'az, yang
baru berusia lima belas tahun, maka berarti tiga generasi Teuku di Tiro di abadikan di dalam Perang Aceh.

Perang Aceh tidaklah berakhir pada tahun 1913 atau 1914. Dari tahun 1914 terentang benang merah sampai tahun 1942, alur perlawanan di bawah tanah. Perang gerilya, yang pada tahun 1925, tahun 1926, sampai tahun 1933 berkembang menjadi perlawanan terbuka lagi.

Dengan demikian perang Aceh berlangsung mulai sejak tahun 1873, terus sambung-menyambung sampai tahun 1942, dimana Belanda angkat kaki untuk selama-lamanya, adalah perang terlama di dalam sejarah perang kolonial Belanda di Indonesia.

Monday, February 14, 2011

Sejarah Muslim Dalam Perang Dunia Kobarkan Semangat Pemuda

BIRMINGHAM (Berita SuaraMedia) – Seringkali disebut "Paki" dan "Teroris" oleh para kelompok rasis, Harun Bin Khaled menghabiskan masa remajanya dalam penolakan sebagian besar masyarakat Britania.
Namun pemuda Muslim ini menemukan jawaban tak terduga ditengah-tengah "pengucilan" dirinya dari masyarakat, sebuah cerita tentang keberanian dan kegigihan bala tentara Muslim Britania dalam perang dunia kedua, bertempur melawan kekejian Nazi.
Sejenak, Harun tertegun dan tak mampu berkata-kata mendapati kenyataan bahwa nenek moyang Muslimnya turut terjun menegakkan kemenangan, dan sedikit demi sedikit mengikis pemikiran bahwa rakyat Britania benar-benar membencinya karena agama yang dianutnya.
"Sejujurnya, kenyataan tersebut sungguh sangat menyentuh mengetahui nenek moyang kami (Muslim) turut membela mati-matian demi kemerdekaan negaranya," pemuda berusia 21 tahun ini menuturkan.
"Saya yakin semangat pemuda Muslim di Britania akan berkobar jika mengetahui kisah ini, karena Muslim tidaklah berbeda dengan golongan rakyat lainnya, dan berusaha memperbaiki citra Muslim di mata masyarakat yang telah terlanjur dikotori media Barat, terutama oleh konspirasi kejadian 11 September," ungkap Harun.
Harun merupakan salah satu dari sekian banyak pemuda yang ikut berpartisipasi dalam sebuah seminar yang diselenggarakan seorang anggota akademi Islam bernama Jahan Mahmud yang membahas mengenai jasa-jasa Muslim selama Perang Dunia II, dan menjadikannya teladan bagi pemuda Muslim Britania agar menghilangkan kekhawatiran munculnya tindakan ekstrimisme.
Jahan menjelaskan bahwa seminar yang diselenggarakannya bertujuan merubah pandangan-pandangan keliru masyarakat Barat mengenai Muslim, sekaligus untuk menghindarkan kesalahpahaman antar umat beragama yang seringkali mencap Muslim sebagai "teroris".
Pemuda Muslim lainnya yang turut menghadiri seminar tersebut adalah Sabil Sadiq, 19 tahun, yang masih seringkali merasa Britania belum 100 persen sungguh-sungguh menerimanya.
"Saya selalau merasa bahwa komunitas Muslim selalu dikucilkan," katanya dalam sebuah wawancara di distrik Sparkbrook, rumah bagi Muslim Pakistan.
"Kami seringkali berpikir, mengapa kami disebut teroris? Dan pertanyaan itu berulangkali berputar dalam benak kami," katanya.
"Ketika gedung WTC diserang, dan negara-negara Barat menuding Muslim sebagai pelakunya, kami tak tahu harus melakukan apa, namun ketika sejarah para tentara Muslim dibuka dihadapan kami, kami tahu kami para pemuda Muslim harus bersatu dalam memerangi Islamfobia yang menyebar seperti virus dalam masyarakat Barat."
Kini Sadiq merasa lebih memiliki Britania, sebagaimana yang dilakukan para pendahulunya. Dia berharap masyarakat Britania juga mengikuti seminar tersebut agar pandangan mereka terhadap Muslim akan berubah.
"Kami umat Muslim juga merupakan bagian dari negara ini, karena nenek moyang kami dulu turut berjuang dengan berani. Ketika anda merasa tidak memiliki negara ini, berarti anda belum mengetahui sejarah ini."
Bash Arab Najib, seorang penasehat muda di wilayah Barat Bromwich, menyebut seminar yang diselenggarakan Jahan tersebut merupakan langkah yang benar benar positif, dan mendapat tanggapan yang bagus dari pemuda Muslim Britania.
Dalam seminar tersebut, para pemuda Muslim juga dihimbau agar turut bergabung dalam militer Britania sebagaimana yang dilakukan pendahulu mereka.
Menurut penelitian Jahan, sejauh ini jumlah tentara Muslim hampir mendekati sepertiga jumlah keseluruhan tentara Britania.
Sejak lama Muslim Barat seringkali mengalami tindakan pelecehan dari masyarakat Barat, terutama oleh kelompok Neo Nazi yang dikenal sangat rasis.
Dikutip oleh www.suaramedia.com

Sunday, February 13, 2011

Mengulas Kembali Sejarah Bima Masa Lampau

Bima adalah` termasuk Daerah Tingkat II Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Sebelum bergabung dengan NKRI, Bima telah melewati perjalanan sejarah panjang yang bermula dari masa sebelum Islam. Sayangnya, karena keterbatasan sumber, hingga kini masih sulit untuk mengungkapkan serta memaparkan sejarahnya. Dalam konteks sejarah nasional, peran dinamika politik Bima jarang diungkap. Hal ini mungkin disebabkan oleh porsi partisipasi pergolakan kekuasaan di sana yang lebih bersifat lokal dan hanya meliputi wilayah regional. Selain itu, penulisan sejarah tentang Bima lebih banyak dilatarbelakangi oleh nasionalisme berlebihan sehingga tulisan-tulisan sejarah lokal tentang peran Bima dalam dinamika politik nasional terkesan dipaksakan. Dari sini, penulis berusaha membuat tulisan dengan landasan historis lokal sekaligus memaparkan karakteristik masyarakat Bima. Dengan ini, selain bisa mengetahui dinamika kekuasaan di Bima, pembaca juga bisa menilai bagaimana kondisi masyarakat Bima abad ke-17-18 M.
Masyarakat Bima adalah masyarakat dengan kontruksi yang heterogen. Masyarakat Bima terdiri atas komposisi ras yang cukup beragam. Kapan dan bagaimana Bima bisa memiliki komposisi masyarakat yang demikian akan penulis paparkan secara historis dalam tulisan yang mengangkat judul ”Dinamika Sosial dan Politik Kesultanan Bima Abad ke-17 – 18 M” ini. Dalam tulisan ini juga akan diterangkan mengenai Bima pada masa kesultanan, atau menurut Bpk. Ari Sapto, M.Hum (Dosen Jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang) lebih tepat disebut Kerajaan Islam Bima, yang dalam sejarahnya banyak berperan dalam berbagai pergolakan di Nusantara bagian timur terutama pada masa awal pemerintahan Kerajaan Islam Bima sekitar abad ke-17 M. Ramainya jalur perdagangan dan pelayaran Nusantara pada masa awal kerajaan Islam tidak hanya diikuti oleh inkulturasi dan transfer budaya, tetapi juga memancing kepentingan politis VOC dalam hegemoni kekuasaan serta monopoli perdagangan di wilayah Bima. Dalam perkembangannya, ketika pemerintah Hindia Belanda mengambil alih wilayah kekuasaan VOC, Bima sebagai salah satu kerajaan di Pulau Sumbawa tidak luput dari penetrasi kekuasaan Belanda. Dari awal abad ke-17 sampai awal abad ke-19, Belanda sebagai kongsi dagang (VOC) maupun sebagai pemerintahan kerajaan terus melakukan usaha hegemoni kekuasaan di wilayah ini. Contoh usaha yang dilakukan, di antaranya politik adu domba serta membuat berbagai perjanjian yang pada akhirnya berhasil menguasai lingkungan istana secara utuh. Perjanjian-perjanjian tersebut berujung pada perjanjian yang dikenal dengan ”Conract Met Bima”. Perjanjian ini menunjukkan bahwa Kerajaan Bima benar-benar berada dalam wilayah hegemoni Hindia Belanda.
A. Bima pada Masa Awal Kesultanan
Sebelum memaparkan tentang masuk dan berkembangnya Islam di Bima, penulis akan membahas secara umum kondisi Bima sebelum era kesultanan. Tidak banyak sumber yang menggambarkan kondisi masyarakat Bima pada masa itu, akan tetapi beberapa tulisan lama tentang Kerajaan Bima menggambarkan masyarakat Bima sudah banyak yang menganut Islam bahkan sebelum Islam memasuki kancah politik dan pemerintahan. Bima sebelum masa kesultanan digambarkan sebagai daerah yang penduduknya beragama Hindu. Hal ini bisa dilihat dari temuan situs Wadu Pa’ayang terletak di Desa Sowa, Kecamatan Donggo, pesisir barat ujung utara Teluk Bima.
Ada beberapa pendapat mengenai proses masuknya Islam di Bima. Dalam buku Peranan Kesultanan Bima dalam Perjalanan Sejarah Nusantara karangan M. Hilir Ismail , Islam tersebar di wilayah Lombok dan Sumbawa salah satunya dibawa oleh Sunan Prapen yang merupakan putra Sunan Giri pada 1540 – 1550 M. Arus islamisasi yang besar juga berasal dari para pedagang Sulawesi sekitar 1617 M, seperti yang disebutkan dalam BO (catatan lama Istana Bima). Kesultanan Bima dalam kancah politik Nusantara, pada abad ke-17, banyak mengalami berbagai pergolakan, baik di dalam tubuh Bima sendiri maupun di wilayah timur Nusantara. Hubungan bilateral Kesultanan Bima dengan Kerajaan Gowa terjalin dengan baik, selain karena persamaan ideologi kerajaan (Islam), juga karena adanya hubungan darah di antara pemegang kekuasaan kedua kerajaan.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, Islam masuk ke wilayah pemerintahan Kesultanan Bima tidak terlepas dari pengaruh kerajaan-kerajaan di Makasar, khususnya Kerajaan Gowa. Di samping itu, perkawinan sultan pertama Bima, Sultan Abdul Kahir, yang disebut-sebut sebagai bentuk perkawinan politik yang merupakan intrik politik yang cukup populer pada abad itu, ikut memperkuat hubungan bilateral kedua kerajaan.
B. VOC dan Pemerintah Hindia Belanda dalam Dinamika Politik Kerajaan Islam Bima
Kontak pertama antara Bima dan orang-orang Belanda telah dimulai pada awal abad 17, ketika terjadi perjanjian lisan antara Raja Bima, Salasi, dan orang Belanda bernama Steven van Hegen pada 1605. Dalam sumber lokal, perjanjian ini disebut Sumpa Ncake. Isi perjanjian tersebut sampai sekarang belum diketahui. Namun, pada masa-masa berikutnya, hubungan dagang antara Bima dan VOC tampak terjalin dan berpusat di Batavia. Dalam catatan harian VOC atau Dah-register disebutkan bahwa VOC mengirim kapal-kapalnya ke Bima untuk membeli beras dan komoditas lainnya. Secara politis, hubungan Bima dan VOC mulai berlangsung dengan ditandatanganinya perjanjian pada 8 Desember 1669 dengan Admiral Speelman. Perjanjian itu merupakan kontrak pertama dengan VOC sebagai akibat keikutsertaan Sultan Bima, Abdul Khair Sirajudin, membantu Kerajaan Gowa memerangi Belanda. Karena kalah perang, Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani perjanjian dengan Belanda pada 1667, yang dikenal sebagai ”Perjanjian Bongaya”. Isi perjanjian itu antara lain memisahkan Kerajaan Bima dengan Kerajaan Gowa agar tidak saling berhubungan dan saling membantu. Pada perjanjian tahun 1669, Bima memberikan terobosan pada Kompeni untuk berdagang di Bima dan raja atau sultan tidak boleh meminta atau menarik cukai pelabuhan terhadap kapal dan barang-barang Kompeni yang keluar masuk pelabuhan.
Setiap terjadinya pergantian raja atau sultan, Kompeni akan membuat kontrak baru. Alasannya, selain untuk memperkuat kontrak-kontrak sebelumnya, juga untuk menjadikan Bima dan kerajaan-kerajaan lain di Pulau Sumbawa di bawah kekuasaan Kompeni secara perlahan-lahan. Selain itu, pertikaian di antara elit penguasa di Pulau Sumbawa, baik yang sengaja direkayasa oleh Kompeni atau bukan, pada dasarnya memberikan kesempatan bagi VOC untuk memperluas pengaruh serta kekuasaannya di wilayah itu. Untuk mewujudkan keinginannya, VOC mengadakan pendekatan melalui pembuatan kontrak atau perjanjian secara paksa. Sebagai contoh, pada 9 Februari 1765, VOC mengadakan perjanjian secara kolektif dengan kerajaan-kerajaan di Pulau Sumbawa, yaitu Bima, Dompu, Tambora, Sanggar, Pekat, dan Sumbawa. Cornelis Sinkelaar (Gubernur VOC) sepakat dengan Abdul Kadim (Raja Bima), Datu Jerewe (Raja Sumbawa), Ahmad Alaudin Juhain (Raja Dompu), Abdul Said (Raja Tambora), Muhamad Ja Hoatang (Raja Sanggar), dan Abdul Rachman (Raja Pekat) untuk bersama-sama dengan VOC memelihara ketenteraman, bersahabat baik, dan mengadakan persekutuan dengan VOC. Dalam pasal 1 kontrak tersebut dinyatakan bahwa raja-raja di Pulau Sumbawa, baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri, berjanji akan terus mematuhi kontrak yang pernah dibuat sebelumnya. Demikian pula prosedur-prosedur dalam perjanjian yang telah dibuat sebelumnya dengan VOC, masih berlaku dan akan terus dipatuhi. Pada 1675, VOC diizinkan untuk mendirikan posnya di Bima. Perjanjian itu diperbarui lagi pada 1701 dan sejak itu secara resmi VOC hadir di Bima.
Pada awalnya, ditempatkan seseorang dengan jabatan koopman atau onderkopman, kemudian seorang residen, dan akhirnya seorang komandan. Pada 1708, J. Happon ditunjuk sebagai residen yang pertama. Pada 1771, jabatan residen digantikan oleh jabatan komandan sampai 1801. Dalam kontrak disebutkan pula bahwa perjanjian itu dibuat dalam rangka persahabatan dan persekutuan abadi yang didasarkan pada ketulusan, kepercayaan, dan kejujuran. Sebagai konsekuensi dari kontrak-kontrak itu, kerajaan-kerajaan di Pulau Sumbawa tidak boleh (dilarang) mengadakan hubungan (politik maupun dagang) dengan daerah-daerah lain, dengan bangsa Eropa lain, atau dengan seseorang kecuali atas persetujuan dan izin VOC. Meski demikian, penempatan residen Belanda di Bima pun harus dengan persetujuan Kerajaan Bima dan sepengetahuan Gubernur dan Dewan Hindia di Makassar. Akibat lain dari perjanjian ini adalah semua hubungan dengan orang-orang Makassar di daerah ini harus diputuskan. Bagi VOC, orang-orang Makassar merupakan para pengacau dan penyulut kekacauan karena hubungan Sumbawa dan Makassar yang telah berjalan lama. Pada 1695, orang-orang Makassar melakukan pelarian dalam jumlah besar ke daerah Manggarai. Bahkan, perpindahan orang-orang Makassar itu telah berlangsung sejak 1669, setelah Kerajaan Gowa ditaklukkan VOC dan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya pada 1667. Pada 1701, orang-orang Makassar berhasil diusir dari Manggarai. Namun, ternyata hubungan antara Bima dengan Makassar tidak dapat diputus dengan cara-cara kekerasan seperti itu karena hubungan Bima-Makassar tidak semata-mata bersifat politik dan ekonomi (dagang), tapi juga hubungan perkawinan antara elit penguasa Bima dan putri bangsawan Gowa.
Pada 1759, sebagai dampak dari kontrak yang dilakukan raja-raja di Pulau Sumbawa, orang-orang Makassar menyerang Manggarai dan menduduki daerah itu. Namun, mereka tidak dapat bertahan lama karena pada 1762, dengan bantuan VOC, Bima dapat menguasai kembali daerah Manggarai. Usaha yang dilakukan oleh Gowa untuk menguasai Manggarai tetap dilakukan, misalnya pada 1822 dengan jalan menarik pajak, namun belum berhasil. Dengan berbagai perjanjian yang terus diperbarui dari zaman VOC hingga ke Hindia Belanda, perlahan-lahan Kesultanan Bima secara politis kehilangan kekuasaan. Perjanjian yang merupakan titik puncak hegemoni Belanda atas Kesultanan Bima adalah perjanjian yang dilakukan oleh Sultan Ibrahim pada 6 Februari 1908 yang disebut “Contract Met Bima”. Perjanjian tersebut antara lain berisi:
1. Sultan Bima mengakui Kerajaan Bima merupakan bagian dari Hindia Belanda dan bendera Belanda harus dikibarkan.
2. Sultan Bima berjanji senantiasa tidak melakukan kerja sama dengan bangsa kulit putih lain.
3. Apabila Gubernur Jenderal Hindia Belanda menghadapi perang, maka Sultan Bima harus mau mengirim bala bantuan.
4. Sultan Bima tidak akan menyerahkan wilayah Kesultanan Bima kepada bangsa lain kecuali Belanda.

Walau pada perkembangannya perjanjian ini menyulut perlawanan dari rakyat Bima, tetap saja Kesultanan Bima pada masa itu berada dalam posisi yang lemah. Hal itu bisa dilihat dari perlawanan rakyat yang dapat dipatahkan oleh Belanda secara bertahap dan Sultan Ibrahim tidak punya kekuatan yang cukup untuk melakukan perlawanan secara terang-terangan.
note: diketik ulang dari kumpulan artikel yang ada di asrama mahasiswa malang-mbojo dan jika ada diantara pembaca merupakan orang yang telah lama atau pakar sejarah dari bima mbojo kami mohon agar memberikan masukan dan koreksi untuk kami

Perlawanan Rakyat Pulau Nusa Barong

Tentang perlawanan rakyat Nusa Barong ini, merupakan ihtiar saya untuk menunjukkan, bahwa masih banyaknya sejarah yang samar-samar masa lampau di Kabupaten Jember. Sejarah samar-samar tentang wong Jember itu, kemudian tenggelam oleh arus besar penulisan sejarah Jember yang berkisar pada masa industrialisasi perkebunan belanda akhir abad 19 dan seterusnya sampai masa revolusi kemerdekaan. Penenggelaman ini pada akhirnya melenyapkan ingatan kolektif masyarakat Jember akan kekayaan historis masa lalunya. Dalam kesejarahan Pulau Nusa Barong misalnya, pandangan masyarakat Jember secara umum, bahkan masyarakat Puger yang lebih dekat dengan Pulau Nusa Barong, hanya mengetahui samar-samar dan meyakini bahwa dari dahulu pulau ini sudah tak berpenghuni dikarenakan telah dihuni oleh para demit (bangsa mahluk halus), sehingga tak akan ada penduduk yang berani tinggal didalamnya.
Konon dari mulut ke mulut, didalam pulau Nusa Barong masih terdapat bekas meriam dan reruntuhan benteng peninggalan belanda. Namun dianggap hanyalah rumor yang tak perlu digubris kebenarannya, sebab, hanya bagian dari pengetahuan samar-samar masyarakat (mitologi sejarah rakyat). Atas kesamaran ini mengakibatkan lenyapnya kesejarahan seabad peradaban masyarakat yang pernah terjadi dikabupaten Jember dari tahun 1700 sampai 1800-an. Padahal dalam pembabakan seabad ini banyak peristiwa historis yang mampu merepresentasikan kompleksitas kebudayaan hibrid rakyat Jember.
Disamping banyaknya kesamaran peristiwa kesejarahan, juga masih banyak pula kemisteriusan dalam jejak sosial dan budaya masyarakat yang masih eksis menyebar dibeberapa wilayah kabupaten Jember masa kini. Misalnya, eksitensi kelompok Osing didesa Biting, koloni etnis Mandar didusun Mandaran-Puger Wetan, para pengikut Mbah Budeng-Mataram di Dusun Tanjungan-Balung Lor, ini semua, merupakan kemisteriusan yang sekaligus menggugat hibriditas pandhalungan yang dominan dalam wacana identitas Jember.
Hibriditas Pandhalungan, menurut saya, tak lain hanyalah mitos, kenaifan deskripsi visual, yang tak berakar pada fakta historis sejatinya masa lalu rakyat Jember. Ketidaktersambungan antara fakta historis masa lalu dengan hibriditas masyarakat jember yang direpresentasikan sebagai masyarakat Pandhalungan (hanya disusun berdasar campuran antara etnis Madura dan Jawa), cenderung serampangan, dan takkan bisa menjelaskan fakta ruang kebudayaan hari ini. Antara lain, diberbagai stasiun radio lokal Jember, ruang public kesenian jember actual masih menjadi medan perebutan antara hegomoni Banyuwangian dan Mataraman. Seterusnya hibriditas Pandhalungan menjadi kaca mata buram apabila dengan jeli diperlihatkan, banyak nama desa menggunakan aksara jawa namun moyoritas penghuni desa adalah beretnis Madura.
Keterkaitannya dengan perlawanan Rakyat Pulau Nusa Barong dalam kontek penulisan ini dengan masih banyaknya kesamaran dan kemisteriusan kesejarahan dikabupaten Jember tersebut, maka yang perlu dijelaskan adalah bagaimana dan seperti apa perlawanan rakyat Pulau Nusa Barong pada masa lampaunya. Sebagai catataan, bahwa keselurahan penceritaan sejarah Pulau Nusa Barong ini bersumber dari Dr. Sumargana (2007).
Pulau Nusa Barong dan Penduduk Multi Etnis
Tidak banyak yang tahu bahwa Pulau Nusa Barong di tahun 1700-an merupakan pulau yang telah dihuni oleh penduduk multi etnis nusantara dan kawasan perlawanan rakyat yang sangat monumental, kaya strategi dan teknik-teknik perlawanan, yang mana sangat menyulitkan kepentingan kekuasaan VOC Belanda dipesisir laut selatan Jawa. Pulau Nusa Barong merupakan pulau kecil, terletak 3 mil dari pantai Puger-Kabupaten Jember. Pulau ini masuk dalam wilayah administratif kabupaten Jember. Sekarang pulau tersebut berstatus sebagai cagar alam yang direncanakan sebagai salah satu wisata Kabupaten Jember.
Sebelum Blambangan ditaklukkan oleh VOC pada tahun 1768, pulau Nusa Barong secara ekonomi sangat penting bagi Blambangan. Nusa Barong merupakan penghasil sarang burung yang signifikan bagi penguasa Blambangan. Hasil produksi sarang burung itu dikirimkan ke para pedagang Cina. Ketika perang berlangsung antara Blambangan melawan VOC (1767-1768), orang-orang blambangan dan lumajang banyak mengungsi ke Pulau Nusa Barong. Pulau Nusa Barong pada tahun 1772 sudah terdapat 250 keluarga atau 1000-an jiwa yang mengelompok dalam 7 perkampungan dan 5 tahun berikutnya jumlah penduduknya menjadi dua kali lipat. Populasi penduduknya terdiri dari multi etnis Nusantara. Orang-orang bugis mendominasi populasi di nusa Barong, sedangkan sisanya diisi oleh etnis Mandar, Wajor, Bali, Sumbawa, Manggar, Malay, dan jawa.
Pada saat Blambangan ditundudukkan oleh VOC di tahun 1768, VOC mulai membangun benteng pertahanan kecil, dan menempatkan beberapa tentaranya (terdiri dari orang eropa dan Jawa) di Nusa Barong dibawah pimpinan Sersan Reebos. Adapun tujuan utamanya yakni untuk menghalau kedatangan para pedagang sarang burung atau para pelarian prajurit blambangan yang bisa menggangu kepentingan belanda di pesisir selatan laut Jawa. Pimpinan utama penduduk multi etnis Nusa Barong bernama Sindu Kopo, sedang pimpinan kedua di pegang oleh Sindu Bromo. Adapun Sindu Bromo adalah anak tiri dari Sindu Kopo.
Setelah perlawanan pangeran Wiilis Blambangan dapat dipatahkan, Pulau Nusa Barong sudah dianggap tempat yang tidak membahayakan lagi. Orang-orang Belanda melalu sersan Reebos dan para tentaranya pergi begitu saja meninggalkan Nusa Barong tanpa seorangpun tentaranya yang ditempatkan disana.
Selepas kepergian sersan Reebos dan tentaranya, di Nusa Barong terjadi pergantian kepemimpinan utama dari Sindu Kopo ke Sindu Bromo. Konon Sindu Kopo dibunuh oleh Sindu Bromo karena telah berpihak pada orang-orang Belanda. Pada tahun 1771, ketika peperangan Blambangan dengan VOC berkobar kembali, perlawanan blambangan dipimpin oleh pangeran Pakis atau Rempeg, banyak pula yang bukan orang blambangan, seperti orang Bugis, orang Mandar, dan orang Cina, bahu membahu dalam satu barisan berperang melawan VOC. Perlawanan membara ini dapat dipadamkan (tahun 1772), banyak para pemimpin utama diantaranya, bapak Endo, Larat, Rupo, Wilondro, Somprong, dan Kapulogo melarikan diri dan bersembunyi di Pulau Nusa Barong. Oleh karenanya Belanda mengirim 3 mata-matanya kesana namun kemudian hilang kabar dan tak pernah kembali.
Juragan Jani dan Perlawanan Rakyat Nusa Barong
Sindu Bromo, pimpinan pulau Nusa Barong, merasakan, akibat pendudukan sersan Reebos dan tentaranya, Pulau Nusa Barong menjadi sepi dari lalu lintas perdagangan, dan perkembangan ekonomi akhirnya menjadi lesu. Kemudian secara regular, Sindu Bromo mengirim orang-orangnya ke Bali untuk meyakinkan para saudagar disana tentang situasi Nusa Barong terbaru. Setelah misi ini berhasil meyakinkan para saudagar di Bali, kemudian beberapa saudagar Bali dan Mandar mulai berkunjung ke Pulau Nusa Barong. Perlahan tapi pasti beberapa kapal besar dan kecil dari Bali atau dari Bengkulu mulai bersandar, dan ekonomi rakyat Nusa Barong mulai bangkit kembali dari kelesuannya.
Perkembangan ekonomi Nusa Barong kemudian dibarengi dengan perkembangan kekuatan politik rakyat yang luar biasa. Sekitar bulan oktober 1772, satu buah kapal besar dari Bengkulu dibawah kendali nahkoda Sabak bersandar di Pulau Nusa Barong. Kedatangan mereka disambut dengan hangat oleh Sindu Bromo sebagai pimpinan Nusa Barong. Bahkan dia menawarkan agar orang-orang Mandar ini membangun rumah dan menetap di Nusa Barong. Karena nahkoda Sabak tidak punya cukup waktu singgah, maka dia mempercayakan kepada Juragan Jani untuk menerima tawaran Sindu Bromo tersebut.
Kelihatannya Juragan Jani adalah orang yang berbakat menjadi pimpinan. Dengan kepercayaan yang diberikan Nahkoda Sabak dan harapan Sindu Bromo yang begitu tinggi, tak berapa lama dia menikah dengan putri Sindu Bromo. Selanjutnya kepemimpinan Pulau Nusa Barong diserahkan pada Juragan Jani.
Dibawah pimpinan Juragan Jani, Nusa Barong disulap lebih dari sekedar Bandar persinggahan tetapi sekaligus sebagai emperium yang mengancam kepentingan politik VOC di pesisir laut jawa selatan. Juragan Jani dalam kebijakan awalnya, menempatkan terlebih dahulu para pejuangnya di benteng-benteng yang sebelum dibuat oleh orang belanda, dan mempersiapkan dengan 60 senjata api, 3 ton serbuk mesiu dan 4 meriam kecil. Dia juga menambahkan armadanya dengan 50 kapal Mandar, 1 pancalang, 3 paduwakan dan mendatangkan banyak penduduk ke Nusa Barong.
Rakyat Nusa Barong bersama Juragan Jani benar-benar berkonsentrasi mempersiapkan perlawanannya dengan banyak serbuk mesiu, amunisi, pejuang dan bahan makanan. Untuk mengorganisir keperluan tersebut, dia mengirimkan para pelayarnya kebeberapa tempat, terutama ke Badung. Pada maret 1773 juragan Jani mengirim 4 kapal yang dibawahi oleh Juragan Balobo, Juragan Sinto, dan Juragan Kolo ke Badung untuk menganggkut Amunisi dan beberapa keluarga ke Nusa Barong. Sekembalinya ke Nusa Barong mereka membawa 70 orang pejuang. Diantara orang-orang tersebut, ada dua eks-pejuang Wajor Blambangan bernama Bagus Jawat dan Bagus Benu.
Singkat cerita bebagai cara dilakukan Juragan Jani dan rakyatnya untuk menambahkan ketercukupan kekuatan perangnya, mulai dari bubuk mesiu, amunisi, bahan makanan sampai mengimpor para pejuang. Banyak para saudagar membantu mensuplai bahan-bahan keperluan yang dipesan Juragan Jani. Setelah dirasa memiliki kekuatan yang sangat cukup, rakyat Nusa Barong kini benar-benar menjadi kuat untuk melakukan perlawanan pada VOC disepanjang pesisir laut selatan Jawa.
Rakyat Nusa Barong telah banyak mendapat serbuk mesiu dan amunisi didalam benteng-bentengnya dan juga banyak penduduk bermigrasa ke Nusa Barong. Dengan semua itu, saatnya memulai penyerangan pada VOC dan antek-anteknya. Rencana awal serangan dituju kekebeberapa tempat yang dibawah penguasaan antek-antek Belanda seperti di Meru. Sabrang, Gunung Pager, dan Dedali. Aksi serangan dimaksud untuk menimbulkan insiden dan menarik perhatian VOC untuk perang terbuka.
Aksi pertama serangan pemimpin Juragan Jani dan rakyat Nusa Barong dilakukan di Gunung Meru, 22 Pebruari tahun 1773, dengan 2 kapal besar dan 2 jukung, mereka menyerang terlebih dahulu pada orang-orang jawa yang menjadi antek belanda. Dalam pertempuran ini pemimpin bapak Roman dan adiknya terbunuh, 6 pengikutnya ditangkap, dan sarang burungnya dirampas. Sedang 1 orang lolos, bernama bapak Samprit dan melaporkan pertempuran tersebut pada VOC.
Pancingan Juragan Jani dan pengikutnya, berhasil menarik perhatian orang-orang Belanda. Setelah pertempuran tersebut orang-orang Belanda Intensif berpatroli disepanjang Pesisir Selatan Laut Jawa. Sementara orang-orang Belanda intensif berpatroli, semakin banyak pula pertempuran yang diciptakan oleh para pejuang Nusa Barong pada antek-antek Belanda.
Pada Oktober 1773, orang-orang Nusa Barong dengan menaiki 9 perahu, 40 senjata api, 50 tombak, mendarat dipantai Puger dan menyerang kapal patroli orang-orang Belanda. Dalam pertempuran ini dari pihak VOC, 8 orang terbunuh. Sedang dari pihak pejuang Nusa Barong, beberapa perahu menabrak karang karena angin begitu kencang dan mereka menyelamatkan diri menuju Wedi Alit. Dua perahu yang selamat kembali ke Pulau Nusa Barong. Keesokan harinya, 13 kapal dari Nusa Baru kembali lagi ketempat itu mencari 5 perahu dan orang-orangnya yang hilang dan bertahan diseputar tempat pertempuran.
Sudah sejak 1773, perkembangan politik di Nusa Barong menjadi perhatian utama kekuasaan orang-orang belanda di Blambangan dan Surabaya. Ekspedisi militer telah direncanakan ke Nusa Barong oleh VOC, ketika pertempuran berantai antara patroli orang belanda dengan rakyat Nusa Barong dipesisir laut selatan Jawa. Baru kemudian Gubernur Semarang menyiapkan serangan serentak setelah empat tahun berikutnya, tepatnya tahun 1977.
Sebelum serangan serentak dilakukan oleh pasukan gabungan orang-orang belanda yang dikumpulkan dari Bangil, Probolinggo, Malang, dan Blambangan ke Nusa Barong, pada oktober 1776 di Pulau Nusa Barong, telah terjadi pergantian pimpinan politik oleh Nahkoda sabak di Pulau Nusa Barong. Sementara kemisteriusan hilanganya Juragan Jani telah melemahkan kekuatan rakyat Nusa Barong. Akhirnya, tepatnya tanggal 17 Agustus 1977, pasukan gabungan orang-orang Belanda memulai serangan serentak dibawah komandan Adriaan van Rijk di pulau Nusa Barong. Dalam peperangan yang berjalan tak seimbang tersebut, sebanyak 27 pejuang Nusa Barong terbunuh. Sementara yang lainnya melarikan diri. Benteng-benteng pertahanan dan rumah para penduduk dirobohkan. Pasukan Belanda terus memburu para pejuang Nusa barong yang melarikan diri kehutan. Seminggu berikutnya, sejumlah 33 orang pejuang Bugis, Mandar dan bali ditemukan dalam keadaan luka yang bersembunyi dihutan ditangkap.
Para kaum laki-laki Nusa Barong, selain terbunuh dan tertangkap, kebanyakan melarikan diri. Rakyat yang tersisa di Pulau Nusa Barong praktis tinggal 98 orang yang terdiri kaum ibu dan anak-anak. Kemudian oleh belanda mereka dipindahkan ketempat lain. Setelah Nusa Barong dapat ditundukkan, para pasukan Belanda ditempatkan di Pulau tersebut dan melakukan pengawasan ketat disekitar pesisir selatan dalam jangka waktu yang agak lama. Sejak saat itulah, Pulau Nusa Barong menjadi steril dari lalu lalang para pedagang bebas, serta orang-orang pribumi dilarang bertempat tinggal didalamnya. Sampai sekarang pulau Nusa Barong berstatus pulau yang boleh dihuni dan tak berpenghuni.