Tuesday, February 8, 2011

Perang Salib dan Pengaruhnya pada Hubungan Islam-Kristen di Indonesia

Orang Kristen di Indonesia, pada umumnya, memandang orang Islam dengan tafsiran
sempit tentang Ismael dalam Kej 16:12. Di sini orang Islam diperikan sebagai
orang yang lakunya seperti keledai liar dan tangannya melawan setiap orang.
Perusakan dan pembakaran gedung-gedung gereja semakin memperkuat pandangan ini
terhadap orang Islam bahwa ayat tersebut adalah kutukan dan bukan janji berkat

Tony Lane, seorang lektor dalam bidang Ajaran Kristen pada London Bible
College, pernah menyatakan bahwa orang yang tidak menguasai sejarah adalah
bagaikan orang yang lupa ingatan. Pernyataannya mengandung kebenaran. Seperti
yang disebutkan di atas bahwa banyak orang Kristen menuduh bahwa sebab-musabab
ketidakharmonisan umat beragama (Kristen dan Islam) adalah pihak Islam. Mereka
lupa bahwa orang Kristen pernah melakukan perbuatan keji, biadab, sekaligus
memalukan dalam peristiwa yang disebut Perang Salib pada abad pertengahan.
Ada banyak sumber informasi untuk memahami seluk-beluk Perang Salib. Adalah
mustahil untuk menampungnya secara rinci ke dalam makalah yang dibatasi jumlah
halamannya. Namun demikian ada beberapa hal yang dapat diungkapkan dalam
peristiwa Perang Salib tersebut agar orang Kristen dapat berefleksi diri demi
kesaksian yang baik bagi kehidupan mereka di Indonesia. Setidaknya orang
Kristen tidak berat sebelah dalam melakukan pelayanan.
Latar Belakang dan Faktor-faktor Penyebab Perang Salib
Sebagian besar pengaruh kebudayaan Islam atas Eropa terjadi akibat pendudukan
kaum Muslim di Spanyol dan Sisilia. Berasal dari sekelompok tentara pengintai
Islam menyeberang dari Afrika Utara ke ujung paling selatan Spanyol pada Juli
710. Laporan kegiatan mata-mata ini menimbulkan minat baru untuk menyerang [2].
Pada tahun 711 pasukan penyerang yang berjumlah 700 orang [3] yang dipimpin
oleh Tariq dari Bani Umayyah menyerbu Spanyol berhasil mengalahkan Roderick,
raja Visigoth. Setelah menambah sekitar 500 orang lagi tentara Arab berhasil
menaklukkan hampir seluruh semenanjung Iberia [4].
Pada tahun 750 kekaisaran Islam di bawah kendali Bani Umayyah jatuh di tangan
Bani Abbasiyah. Pusat pemerintahan dipindahkan dari Damaskus ke Baghdad. Oleh
karena berpusat di timur, maka mereka kesukaran mengendalikan provinsi di
sebelah barat. Seorang pangeran muda dari Bani Umayyah berhasil melarikan diri
dari Maroko ke Spanyol. Di sana ia bergabung dengan salah satu faksi yang
tengah bentrok, dan atas kepemimpinannya mereka menggapai kemenangan. Pada
tahun 756 ia bergelar Khalifah Abd al-Rahman I dengan pusat pemerintahan di
Cordoba.
Spanyol Islam dianggap mencapai puncak kekuasaan dan kemakmurannya pada masa
kekhalifahan Abd al-Rahman III (912 – 961) [5]. Keberadaan negara atau wilayah
tidak lepas dari gerakan-gerakan politik di dalamnya. Gerakan politik pertama
muncul pada akhir pemerintahan Ustman bin Affar yang ditandai dengan kemunculan
Abdullah bin Saba [6]. Gerakan politik ini selalu melekat pada pemerintahan
Islam di sepanjang sejarah, termasuk di Spanyol Islam. Intrik-intrik ini
membuat Spanyol Islam mengalami pasang surut.
Dunia Kristen Latin juga merasakan pengaruh Islam melalui Sisilia. Serangan
pertama ke Sisilia terjadi pada tahun 652 di kota Sisacusa. Akan tetapi
pendudukan orang-orang Arab di Sisilia tidak berlangsung lama. Kebangkitan
kembali Kerajaan Byzantium mengakibatkan berakhirnya semua pendudukan atas
wilayah-wilayah penting [7].
Pada tahun 1055 tentara Turki mulai menyerang ke arah barat, yaitu kekaisaran
Byzantium dan Siria. Mereka juga menguasai Yerusalem pada tahun 1070. Dengan
demikian daerah yang bertetangga dengan dunia Kristen dikuasai oleh orang Islam
militan. Orang-orang Kristen yang dahulu dapat berziarah ke Yerusalem secara
bebas mulai diganggu oleh orang-orang Turki. Pada abad 11 orang-orang yang
hendak berziarah membentuk kelompok-kelompok besar lengkap dengan perlindungan
militer.
Setelah pengaruh Romawi lenyap dari Eropa Barat pada abad 5 wilayah ini ditimpa
kekacauan. Suku-suku German yang merebut daerah yang dahulu dikuasai Romawi
mempunyai kebudayaan yang jauh lebih rendah ketimbang kebudayaan Romawi dan
Arab. Kehidupan gereja pun terpengaruh. Mulailah senjata masuk gereja.
Misi pekabaran Injil dihubungkan dengan ekspedisi militer. Memasuki abad 11
gereja mulai melibatkan para bangsawan yang gemar berperang untuk menyerang
musuh-musuhnya. Musuh-musuh di sini adalah orang Islam dan para bidat. Dengan
demikian gereja mengatur peperangan dan menjamin kedamaian, ketenteraman, serta
keadilan. Politik ini disebut gerakan damai Allah. Para bangsawan diberi etos
khusus agar memakai keahliannya demi iman dan gereja. Mereka menjadi tentara
Kristen atau ksatria Kristen [8]. Paus mengobarkan semangat mereka dan memberi
jaminan pengampunan dosa. Paus berambisi untuk menggabungkan gereja timur ke
dalam kekuasaannya dan mengusir orang Islam dari Baitul Maqdis [9]. Menurut van
den End & de Jonge (2001) semangat iman, semangat berperang, dan semangat
politik bersatupadu sehingga sukar menentukan sisi mana yang paling menonjol.
Pada tahun 1050 dikenallah gerakan perang suci, yang juga disebut Perang Salib.
Disebut Perang Salib karena para ksatria menggunakan lambang salib dari kain
merah pada bahu dan dada sebagai tanda.
Perang-perang Salib
Perang Salib I
Berawal di Sisilia pada tahun 1050 ketika orang-orang Islam diusir. Hal yang
sama terjadi juga di Spanyol. Pada tahun 1063 para tentara Salib Perancis dan
Spanyol sepakat untuk merebut kembali wilayah yang dikuasai Islam. Paus
merestui mereka. Pada tahun 1085 raja-raja Kristen di Spanyol Utara merebut
Spanyol dari tangan orang Islam .
Dalam pada itu Byzantium yang terjepit oleh Turki meminta bantuan kepada Gereja
Barat. Hal ini dimanfaatkan oleh Paus nuntuk memperluas pengaruhnya di Timur.
Pada tahun 1094 Paus Urbanus II mengimbau orang Kristen barat untuk menolong
Byzantium. Melalui Sungai Rhein dan Donau para tentara Salib dari Jerman menuju
Konstantinopel sambil membunuhi dan menyiksa orang-orang Yahudi.
Kaisar Byzantium akhirnya terpaksa tunduk kepada Paus dan Gereja Barat. Padahal
pandangan Gereja Timur terhadap perang ini berbeda dengan Gereja Barat. Bagi
mereka ini bukanlah perang suci.
Di Asia Kecil tentara Salib beberapa kali mengalahkan orang-orang Turki,
sehingga Kaisar Alexios sempat merebut kembali sebagian daerah yang hilang
setelah tahun 1071. Lalu pada tahun 1097 tentara Salib berhasil menguasai
Antiokhia dengan perjuangan berbulan-bulan dan menelan korban sangat banyak.
Tentara Salib meneruskan perjalanan ke Yerusalem dan tiba di sana pada Juni
1099. Orang-orang Kristen yang merupakan mayoritas diusir dari Yerusalem.
Mereka mengepung kota. Yerusalem berhasil direbut oleh tentara Salib. Orang
Yahudi dan Islam dibunuhi.
Para pemimpin tentara Salib mendirikan Kerajaan Yerusalem (1099 – 1187) yang
juga meliputi Antiokhia, Edesssa, dan Tripoli. Secara pemerintahan daerah ini
di bawah Konstantinopel, namun gerejanya di bawah Paus di Roma [10].
Keberhasilan tentara Salib bukanlah karena keunggulan strategi militer.
Keberhasilan mereka banyak ditentukan oleh kelemahan orang-orang Saljuk (Turki)
akibat meninggalnya Malik Syah. Orang-orang Turki terpecah belah. Ciri khas
tentara Salib ialah merusak apa saja yang ditemuinya dan membakarnya [11].
Perang Salib II (1147 – 1149)
Malik Syah digantikan oleh Imaduddin Zanki. Ia mengumpulkan sisa-sisa kekuatan
Saljuk. Namun tak lama kemudian ia meninggal. Ia digantikan oleh anaknya,
Nuruddin Zanki. Ia berhasil menumpas pemberontakan orang-orang Armenia.
Kemenangan ini membuat orang-orang Eropa Barat bangkit lagi hasratnya untuk
kembali ke dunia Timur [12].
Seorang rahib termasyur pada zaman itu, Bernard dari Clairvux, menghasut dan
mengobarkan semangat Perang Salib kepada orang-orang Eropa Barat. Yang memimpin
tentara Salib adalah raja Perancis, Louis VII dan kaisar Jerman, Konrad III. Di
sini jelas sekali faktor dan motif politik semakin menonjol [13]. Namun usaha
mereka gagal untuk menguasai Damaskus dan Askalon, karena dipatahkan oleh
pasukan Nuruddin Zanki [14].
Perang Salib III (1189 – 1192)
Perang ini berawal dari kekalahan tentara Salib di Palestina dekat Tiberias
(1187) dan penaklukan Yerusalem oleh Sultan Saladin dari Mesir. Tentara Salib
dipimpin oleh kaisar Jerman, Friedrich III, Barbarossa, bersama dengan raja
Inggris, Richard, dan raja Perancis, Philippe II. Raja Richard berhasil merebut
kota Akko dan ia juga mengikat perjanjian dengan Sultan Saladin. Isi
perjanjiannya ialah orang-orang Kristen diperbolehkan tinggal di daerah pesisir
antara Tyrus dan Jaffa, serta para peziarah diperbolehkan mengunjungi Yerusalem
secara bebas [15].
Perang Salib IV (1202 – 1204)
Paus Innocentius III (1198 – 1216) ingin menguasai Mesir dan mengirim tentara
Eropa Barat untuk menyerang Mesir. Ekspedisi ini dibiayai oleh pemerintah
Venesia. Pasukan ini ternyata tidak pernah tiba di Palestina. Kekuatannya
dipergunakan untuk menghancurkan pesaing perdagangan Venesia, yaitu
Konstantinopel. Tentara Salib akhirnya menduduki dan menjarah kota
Konstantinopel, lalu dijadikan kekaisaran yang takluk pada Gereja Roma [16].
Perang Salib V (1218 – 1221)
Perang Salib ini cukup singkat. Sebelumnya Paus Innocentinus III mendorong
usaha serangan militer ke Mesir. Paus penggantinya, Honorius III, meneruskan
usaha ini.
Tentara Salib berhasil menguasai kota Damietta di pantai Mesir (1219). Akan
tetapi pada tahun 1221 kota terpaksa terlepas lagi. Pada masa inilah Fransiskus
dari Asisi memulai usahanya untuk mengabarkan Injil kepada sultan Mesir,
Al-Kamil [17].
Perang Salib VI (1248 – 1254)
Pada tahun 1244 Yerusalem diduduki kembali oleh tentara Islam. Raja Louis IX
melakukan Perang Salib dan menyerang Mesir. Pada tahun 1249 kota Damietta
diserbu, namun Louis IX gagal, dan bahkan menjadi tawanan perang. Ia berhasil
dilepaskan setelah ditebus dengan banyak uang. Ia pulang ke Perancis pada tahun
1254 [18].

Perang Salib VII (1270)

Antara tahun 1250 dan 1254 Raja Louis IX tinggal di Tanah Suci untuk membangun
ulang kubu dan kekuasaan lewat usaha diplomasi, karena merasa gagal lewat
perang. Berkat status dan wewenangnya ia berhasil menjadi penguasa di Kerajaan
Yerusalem [19]. Sebelumnya ia sempat merebut kota Damietta di Mesir pada tahun
1249 (Perang Salib VI). Namun ketika menuju Kairo pasukannya dipukul mundur dan
terserang penyakit pes. Ia sempat ditawan dan dibebaskan sebulan kemudian. Pada
tahun 1270 Louis IX kembali memimpin penyerangan ke Tunisia. Namun ia meninggal
karena terserang penyakit pes [20].
Sultan Baybars merupakan orang pertama di antara para sultan yang berhasil
menghancurkan kekuatan tentara Salib. Ia adalah keturunan Mameluk dari Mesir.
Pada tahun 1262 ia membangkitkan massa Saladin untuk kembali ke Asia Barat.
Sebuah kota dan benteng yang dikuasai oleh tentara Salib direbutnya kembali,
sehingga pada tahun 1286 kota Jaffa dapat juga ditaklukkan. Penyerangan
berikutnya diteruskan ke Utara untuk merebut Antiokhia. Pada tahun 1289 Tripoli
di Lebanon direbutnya juga. Pada tahun 1291 Akko, sebuah kota terpenting
kekuatan tentara Salib, dapat ditaklukkannya. Sejak saat itu masa tentara Salib
habis di seluruh benua Timur [21].
Akibat Perang Salib pada Gereja dan Islam di Eropa dan Timur Tengah
Nyatalah bahwa tentara Salib tidak membawa damai, tetapi pedang; pedang itu
adalah untuk memotong-motong dunia Kristen. Ketidaksetujuan doktrinal yang
telah berlangsung lama dipaksakan kepada Gereja Timur oleh kebencian nasional
yang mendalam [22]. Perang Salib memang tidak memberikan maslahat apapun bagi
orang-orang Kristen di Timur Tengah. Di mata tentara Salib orang-orang Yakobit,
Koptik, Melkit, dan Nestorian merupakan orang-orang yang menyimpang dari ajaran
yang benar [23].
Setiap terjadi Perang Salib orang-orang Kristen asli Timur Tengah didera
penderitaan. Terjadi pembunuhan besar-besaran, baik atas orang-orang Islam
maupun orang-orang Kristen asli, seperti yang terjadi di Antiokhia (1098 &
1268), Yerusalem (1099 & 1244), Caesarea (1101), Beirut (1110), Edessa (1146),
Tripoli (1289), Akha (1291), dan Aleksandria (1365). Setelah pengusiran
orang-orang Kristen Barat, orang-orang Kristen asli di Mesir, Siria, dan
Armenia terkena getahnya. Orang-orang Kristen tidak lagi dipercaya oleh
penguasa-penguasa Islam. Sikap toleran terhadap orang-orang Kristen juga
meluntur dan jurang antara kaum Kristen dan Islam diperdalam. Perang Salib
mempercepat kemunduran Gereja Timur [24].
Bagi dunia Islam Perang Salib berakibat memantapkan penguasaannya terhadap
wilayah-wilayah yang telah didudukinya dan mengusir tentara Salib. Namun
demikian dapat dikatakan mudarat yang didapatkan justru lebih banyak, karena
bagi kaum Islam wilayah-wilayah tersebut memang sudah lama mereka kuasai. Tidak
ada yang baru dalam hal ini. Tidak ada hal yang baik pada tentara Salib yang
dapat dipetik oleh orang Islam. Moral mereka bejat. Mereka memeras kawan dan
lawan serta menyembelih keduanya tanpa ampun. Menurut Gustav Lebon yang dikutip
oleh Al-Wakil fakta tersebut tidak dapat dipungkiri oleh siapapun dari bangsa
Eropa. Hal ini masuk di akal karena pada umumnya tentara Salib berasal dari
pengangguran, penjahat, dan rakyat jelata. Tidak ada yang dapat diharapkan dari
tentara Salib selain pembunuhan manusia tak berdosa, perampokan, dan
pelanggaran kehormatan [25].
Citra orang Kristen Barat berbeda sekali dengan citra orang Kristen Timur di
mata orang Islam. Orang Kristen Timur dihormati sebagai orang-orang
berkebudayaan tinggi, sedang orang-orang Kristen Barat dianggap biadab.
Ironisnya penyerangan tentara Salib dilakukan dalam nama Kristus, Raja Damai.
Sejak zaman itu agama Kristen dihubungkan dengan kekerasan. Sejak zaman itu
juga kata salib bagi orang yang berbahasa Arab menimbulkan emosi peperangan.
Kesan yang ditimbulkan orang-orang Kristen pada zaman itu tidak pernah
dilupakan. Bagi orang Kristen tahun 1100 – 1300 merupakan masa yang sudah
lewat. Akan tetapi bagi orang Islam, yang mempunyai pandangan tentang sejarah
menurut Timur [26], zaman itu bukanlah zaman yang telah lewat, namun masa yang
mengerikan yang selalu dapat muncul kembali [27].
Pertikaian antara Gereja Barat dan Timur menciptakan rumpang (gap) antara
keduanya. Sikap Paus dan tentara Salib terhadap Gereja Timur sangat menyakiti
perasaan. Perasaan ini diperkuat ketika tentara Salib menduduki Konstantinopel
pada Perang Salib IV. Peristiwa itu juga mempercepat kemunduran kekaisaran
Byzantium dan mengakibatkan penaklukan kota ini oleh tentara Otoman pada tahun
1453 [28]. Tentara Islam menguasai Konstantinopel justru karena mendapat
maslahat dari kebijakan Gereja Barat terhadap Gereja Timur [29].
Dalam pada itu bagi Eropa Barat dan gerejanya secara politik-militer Perang
Salib tidak bermaslahat sama sekali. Tidak ada satu daerah pun yang pernah
dikuasai dapat dipertahankan. Dengan demikian tujuan Perang Salib untuk merebut
Tanah Suci dari orang-orang Islam gagal dicapai.
Namun demikian raja-raja dan penduduk kota-kota di Eropa Barat memetik maslahat
dari Perang Salib. Kedudukan raja makin kuat dan tidak sekadar bangsawan.
Penduduk kota merasa lebih bebas, karena para bangsawan sibuk berperang
sehingga tidak sempat menjalankan pemerintahan kota. Hubungan dagang dengan
dunia timur menjadi lebih intensif.
Pada bidang kebudayaan Perang Salib berarti perjumpaan antara dunia yang biadab
dan dunia yang berkebudayaan tinggi. Orang-orang Islam tidak belajar suatu
apapun dari tentara buas. Sebaliknya yang diterima oleh Barat makin banyak.
Orang Barat memperoleh ilmu filsafat dari orang-orang Arab, yang sebenarnya
dipengaruhi oleh filsafat Yunani.
Bagi gereja sendiri Perang Salib membawa perkembangan baru dengan terbentuknya
ordo-ordo baru rohani. Ordo pertama yang lahir ialah ordo-ordo ksatria rohani
yang didirikan di Tanah Suci untuk melayani orang-orang yang menderita luka
atau penyakit dan untuk melindungi orang-orang yang berziarah. Ordo-ordo ini
menggabungkan cita-cita militer dengan cita-cita rohani. Sebagai akibatnya
kekerasan masuk dalam gereja. Senjata diterima sebagai alat untuk
mempropagandakan iman dan memberantas orang-orang yang mempunyai ajaran yang
berbeda dengan ukuran ajaran Gereja Roma. Dalam pada itu semangat iman juga
tumbuh pada orang-orang yang tidak terlibat dalam Perang Salib. Masyarakat
Eropa Barat banyak mendapat-kan cerita ajaib dari orang yang pulang dari ziarah
ke Tanah Suci.
Selain semangat melawan orang-orang Islam dengan pedang semangat untuk melawan
mereka dengan firman mulai muncul juga. Orang mulai mempelajari bahasa Arab dan
ajaran Islam untuk melawan Islam dengan jitu. Di sini terletak akar-akar
pekabaran Injil dengan cara baru, yang dilakukan oleh Ordo Dominikan, Ordo
Fransiskan, kemudian juga Serikat Jesuit dengan mendirikan biara di daerah
pedesaan.
Sejajar dengan perkembangan ini orang-orang Kristen mulai tertarik pada Yesus
sebagai manusia, seperti misalnya mistik Bernard dari Clairvux dan Fransiskus
dari Assisi. Mistik diarahkan kepada Kristus yang hina dan menderita. Namun
demikian ada juga orang yang mulai menisbikan iman Kristen. Mereka ternyata
mengetahui adanya agama lain dengan kebudayaan tinggi. Penganutnya tidak hanya
sanggup berperang dengan baik, tetapi juga menghormati orang lain. Beberapa
kali mereka melepaskan raja atau bangsawan yang tertangkap. Menurut kebiasaan
waktu itu seorang tawanan harus membayar sejumlah uang tebusan. Akan tetapi
selama dalam masa tawanan mereka diperlakukan dengan baik dan dengan segala
hormat [30].
Pengaruh Islam pada ilmu dan teknologi terhadap bangsa Eropa sangat murad
(significant). Dari teknologi pelayaran, pertanian, sampai pada matematika,
astronomi, kedokteran, logika, dan metafisika [31]. Akibat pengaruh itu
orang-orang Eropa terdorong untuk mencari jalan lain ke Timur Jauh, daerah
penghasil rempah-rempah dan kain sutra. Hal ini mereka lakukan supaya tidak
bergantung lagi pada dunia Islam.
Pengaruh Perang Salib pada Hubungan Kristen-Islam di Indonesia
Ketika agama Kristen masuk ke Nusantara pada abad 16 sudah banyak penduduk yang
memeluk agama Islam. Islam sendiri datang pada abad 9 – 10 melalui para
pedagang Muslim India, Arab, dan Persia. F. L. Cooley, yang pada tahun memimpin
penelitian hubungan Islam dan Kristen di Indonesia, mengatakan sejak awal
kedatangannya kedua agama itu sudah diwarnai oleh suasana kurang baik. Sebelum
masuk ke Nusantara kedua agama itu telah terlibat persaingan, konfrontasi, dan
konflik di Asia Barat, Afrika Utara, dan Eropa Barat. Pengalaman konflik dan
persaingan antara masyarakat kedua agama tersebut memerikan (describe) sikap
dan perasaan negatif satu sama lain, sehingga hal itu terbawa juga ketika kedua
agama itu masuk ke Nusantara [32].
Sebenarnya sikap pemerintah Hindia-Belanda terhadap agama Kristen bermuka dua.
Pada satu pihak pemerintah seringkali mempersulit atau melarang pekabaran
Injil, sedang pada pihak lain, terutama sesudah tahun 1900, pekabaran Injil
disokongnya. [33] Oleh karena eratnya hubungan antara pemerintah kolonial dan
kegiatan penginjilan, maka pelaksanaan misi mendapat banyak kendala di kalangan
umat Islam. Kristen dipandang sebagai agama penjajah Barat yang menindas. Citra
orang Barat dalam Perang Salib masih menghantui umat Islam, yang memang
diwartakan demikian oleh penyebar agama Islam.
Setelah berakhirnya pemerintahan kolonial ketegangan hubungan umat Islam dan
Kristen mencuat lagi. Ini terjadi pada saat pembahasan UUD 1945 dan pada sidang
Konstituante hasil Pemilu 1955. Pada tahun 1971 pemeluk agama Kristen melejit
menjadi 7,4%, jika dibandingkan tahun 1931 yang hanya 2,8%. Hal ini terjadi
karena pemerintah orde baru mewajibkan penduduk untuk memeluk salah satu agama
yang diakui negara. Banyak orang bekas anggota PKI yang memilih Kristen
ketimbang Islam. Sebagian kalangan menduga jumlah itu mencapai dua juta orang.
Peristiwa ini mengundang kecurigaan tokoh Islam dengan menuduh pemerintah orde
baru memberikan keleluasaan bagi penyebaran agama Kristen. Kalangan Islam juga
sangat berkeberatan dengan cara-cara misionaris menyebarkan agama Kristen yang
dianggap mengintervensi keimanan umat Islam. Cara mereka ialah mendatangi dari
rumah ke rumah dan membangun banyak gereja di kawasan Muslim. Bahkan ada yang
mendatangi H.M. Rasjidi, menteri agama waktu itu. [34]
Pekabar Injil yang bertugas di Indonesia tidak saja dari Indonesia sendiri,
namun juga dari Eropa dan Amerika Serikat. Pekabar Injil asing datang ke
Indonesia dalam jumlah besar pada awal pemerintahan orde baru, ketika
pemerintah menganjurkan para simpatisan PKI memilih agama yang sah dan diakui.
Bagian terbesar memang memilih Kristen.
Bantuan dari luar negeri bukan saja dalam bentuk tenaga, tetapi juga dalam
bentuk dana yang besar. Banyak dari mereka berasal dari kalangan Injili dan
fundamentalis. Mereka sangat agresif dalam melakukan penginjilan, yang bahkan
tidak empan papan. Dengan bantuan dana yang besar itu mereka membangun banyak
gereja di tempat-tempat strategis. Selain itu mereka melakukan kegiatan sosial
kepada masyarakat miskin, yang tujuan utamanya agar orang miskin tersebut
berpindah agama. Suasana ini diperparah lagi dengan banyaknya warga keturunan
Tionghoa yang masuk Kristen aliran Injili dan fundamentalisme. Di sinilah
konflik keagamaan bercampur dengan konflik etnis. Konflik keagamaan timbul
akibat kegiatan misi yang dilakukan secara agresif tanpa mempertimbangkan
perasaan umat Islam. Tidaklah heran jika terjadi konflik antar umat beragama,
maka dampaknya terjadi juga perusakan toko-toko milik keturunan Tionghoa.
Semangat tentara Salib yang berperang demi agama masih banyak mewarnai para
pekabar Injil. Bagi mereka kebenaran mutlak hanya ditemukan dalam agama
Kristen, sedang agama lainnya sesat. Pada suatu acara Pengajian Injil (Bible
Study) yang diselenggarakan oleh Institute for Syriac Christian Study (ISCS)
pada tanggal 7 Desember 2001 di Jakarta penulis sempat berdebat dengan peserta
dari kalangan fundamentalis. Salah satu pokok yang diperdebatkan bahwa Allah
orang Kristen berbeda dengan Allah orang Islam. Menurutnya Allah orang Kristen
adalah YHWH. Penulis hanya menjawab, pertama, bahwa jika Allah orang Kristen
dan orang Islam berbeda, maka orang itu suka tidak suka menganut politheis,
karena ada dua Allah di sana. Kedua, Yesus Kristus dan para rasul sendiri tidak
mempertahankan nama YHWH dalam pengajarannya. Menurut penulis orang seperti itu
tidak sedikit jumlahnya di Indonesia. Jika gerakan mereka tidak dibendung, maka
akan menjadi batu sandungan bagi kerukunan umat beragama di Indonesia, dan
tentu saja mereka malah akan menghambat penyampaian Kabar Baik.
Perenungan
Walaupun Indonesia sudah merdeka lebih daripada setengah abad, ternyata
kerukunan umat Kristen dan Islam masih merupakan cita-cita. Memang di sana-sini
sudah dilakukan upaya pembenahan, namun belum menyentuh lapisan terbawah dan
yang pasti masih belum dapat menghilangkan trauma Perang Salib.
Beberapa tahun terakhir ini gencar dilakukan dialog antara umat Kristen dan
Islam. Hasilnya cukup menggembirakan, karena pelaku dialog sudah dapat memahami
iman yang berbeda. Kendati demikian dialog ini sangat terbatas di lingkungan
intelektual (teolog).
Pembenahan diri untuk meningkatkan kerukunan umat Kristen dan Islam memang
seyogyanya dilakukan oleh kedua belah pihak. Akan tetapi umat Kristen tidak
patut menuntut terlalu banyak umat Islam, karena sudah sepatutnya umat Kristen
/ gereja menggagas pembenahan dirinya sendiri. Salah satu yang perlu dibenahi
adalah paradigma pelayanan.
Istilah pelayanan atau melayani paling banyak digunakan gereja di samping
istilah mengasihi. Orang pada umumnya mengartikan pelayanan adalah pelayanan
kepada Tuhan, yang kemudian berkonotasi ibadah, kebaktian, dan doa. Dengan kata
lain pelayanan bersifat kerohanian. Namun demikian pelayanan juga bukan melulu
ke arah horisontal yang meliputi etika. Melayani yang benar adalah melayani
seperti Yesus melayani.
Banyak sekali contoh di dalam Alkitab tentang pelayanan Yesus. Yang disoroti
dalam tulisan ini ialah pelayanan Yesus pada Markus 8:1-10. Perikop tersebut
seringkali tenggelam dengan cerita Yesus memberi makan kepada 5.000 orang yang
terdapat dalam Mat 14:13-21, Markus 6:30-44, Luk 9:10-17, dan Yoh 6:1-13.
Ada perbedaan hakiki pelayanan Yesus pada Markus 8:1-10 dan keempat perikop
tersebut di atas. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari sisi geografis.
Pemberian makan kepada 5.000 orang terjadi di wilayah Palestina, yaitu di
Galilea, sedang pemberian makan kepada 4.000 orang (Markus 8:1-10) terjadi di
luar wilayah Palestina, yaitu Dekapolis. Daerah itu banyak dihuni oleh orang
Yunani perantauan.
Para murid Yesus sebelumnya sudah menyaksikan bagaimana Ia memberi makan 5.000
orang. Suasana yang mirip terjadi juga di Dekapolis, tetapi para murid tetap
saja tidak peka. Mereka berpikir Yesus tidak akan memberi makan, karena
orang-orang itu bukan orang Yahudi. Ternyata mereka keliru.
Yesus memberi makan kepada 4.000 orang itu atas dasar belas kasihan, yang bukan
sekadar kasihan. Orang-orang itu dikenyangkanNya. Jelas sekali di sini Yesus
melayani tanpa pamrih. Tidak ada cerita tentang pertobatan atau mereka menjadi
pengikut Yesus. Malahan setelah mereka kenyang Yesus menyuruh mereka pulang
(ay. 9).
Dari teladan pelayanan Yesus semestinya gereja bercermin pada ini. Melayani
melewati batas golongan sendiri mestilah tanpa strategi untuk menjadikan mereka
anggota kelompok. Pelayanan mestilah serbacakup (comprehensive). Pelayanan
serbacakup mestilah menyentuh orang yang tidak seagama. Jika tidak, itu
bukanlah alkitabiah; suatu istilah yang justru acapkali ditekankan di kalangan
gereja tertentu.
Orang-orang Kristen masih berpikiran bahwa pewartaan Kabar Baik berarti
meluaskan atau menambah anggota jemaat. Memang itu ada benarnya. Namun bukan
itu hakikatnya. Gairah untuk menambah anggota jemaat menyebabkan orang Kristen
banyak melakukan berbagai usaha untuk menarik perhatian masyarakat. Usaha ini
bukanlah pengungkapan kasih, karena bagaimanapun juga ada pamrihnya, karena
agar orang lain tertarik menjadi Kristen. Tidaklah heran jika pihak Islam
menuduh itu kristenisasi dengan iming-iming.
Kita dapat saja melayani secara nyata dengan melakukan berbagai kebajikan dalam
rangka peningkatan taraf hidup masyarakat, tanpa perlu mengorbankan prinsip
kesaksian Kristen. Umat Islam merupakan kelompok terbesar di Indonesia.
Peningkatan taraf hidup dan pengentasan kemiskinan tentunya dapat dilaksanakan
jika kelompok terbesar itu ikut terlibat. Jika orang Kristen memang benar-benar
melayani tanpa pamrih dalam rangka hal itu, lalu memang terjadi peningkatan
taraf hidup masyarakat lokal, tentunya dengan kehendak sendiri mereka akan
bertanya-tanya mengapa orang Kristen melayani mereka tanpa pamrih. Dengan
demikian kita sudah memberi tempat bagi Roh Kudus untuk bekerja.
Kita mesti membuat agama (Kristen) lebih membumi, lebih mengikuti akal sehat,
yang tidak hanya terampil ngeyel dan ngotot mengenai doktrin, yang saking
militannya tanpa sadar menempatkan doktrin itu di atas Alkitab, bahkan Allah.
Kita mesti lebih peduli pada kebutuhan nyata manusia, membuat kehidupan lebih
manusiawi, lebih rendah hati untuk tunduk pada norma-norma etika. Beragama
bukanlah untuk urusan vertikal saja, yang menekankan gatra (aspect) ritual dan
kemurnian ajaran. Keluhuran ajaran agama mestilah dipraktikkan secara nyata
untuk mengembangkan wawasan dan kepedulian terhadap kemanusiaan, kemiskinan,
keadilan, demokrasi, dan lain sebagainya.

No comments:

Post a Comment